Kepemimpinan dalam Sistem Politik Melayu

Minggu 21 Jan 2024 - 19:48 WIB
Oleh: tim

SUMATERAEKSPRES.ID - Lebih kurang satu bulan lagi rakyat Indonesia akan menentukan nasib bangsanya lima tahun ke depan  melalui pemilihan presiden (pilpres) secara langsung. 

Para calon presiden dan tim suksenya sudah mulai mencari cara untuk memenangkan pemilihan dengan berbagai upaya melalui kampanye. Masyarakat pun  sudah disuguhi berbagai program dan janji oleh masing-masing calon, baik melalui spanduk, baliho, media cetak, elektronik dan sosial (medsos).

Sebagai rakyat sudah barang tentu mereka menginginkan calon yang terbaik untuk menjadi pemimpinnya di masa yang akan datang. Agar dapat memilah dan memilih calon terbaik diantara yang terbaik, masyarakat tidak cukup mengandalkan informasi dari masing-masing  tim sukses melalui berbagai media di atas. 

Karena sejatinya, ibarat penjual sudah barang tentu mereka akan mengiklankan produk mereka dengan lebel terbaik. Tidak dapat dipungkiri, hal ini terjadi karena masing-masing tim sukses tentu memiliki kepentingan dengan berbagai dimensinya, dengan tidak menafikan keihlkasan para relawan dan (anggota) tim sukses yang tentunya masih ada. 

BACA JUGA:Hasil Survei UI: Prabowo-Gibran Puncaki Elektabilitas, Masyarakat Lebih Senang Pilpres 2024 Sekali Putaran

BACA JUGA:Kopdar FIM di Kandang Banteng, Mahasiswa Semarang Serukan Pilpres 2024 Sekali Putaran

Dalam rangka memberikan bekal pemahaman kepada calon pemilih (rakyat) tentang bagaimana seharusnya seorang pemimpin dan siapa yang pantas untuk dijadikan pemimpin, tulisan ini mencoba memberikan gambaran tentang konsep kepemimpinan dari perspektif Melayu. Mengapa Melayu? Karena sejatinya kita adalah bangsa Melayu yang harus berpijak pada nilai-nilai, jatidiri dan kepribadian Melayu. 

Salah satu sumbangan terbesar kebudayaan melayu adalah turut mewujudkan dan membentuk jati diri dan identitas bangsa Indonesia. Pengaruh melayu bagi bangsa Indonesia pada umumnya meliputi banyak hal, di antaranya adalah khazanah politik Melayu. 

Dalam khazanah politik Melayu, pemimpin didefinisikan sebagai orang yang diberi kelebihan untuk mengurus kepentingan orang banyak. Seorang raja (pemimpin) haruslah sosok manusia yang dapat dijangkau oleh rakyat biasa. Penguasa harus berada di tengah-tengah rakyatnya, mengerti kondisi warganya, dan tahu apa yang diinginkan oleh mereka. Raja bukanlah dewa yang tak tersentuh oleh manusia. 

Dalam Kitab Taj al-Salatindisebutkan 10 (sepuluh) sifat raja atau pemimpin yang baik, di antaranya: 1) Tahu membedakan yang baik dan yang buruk, 2)Berilmu, 3) Baik rupa dan pekertinya, 4) Pemurah, 5) Berbakti kepada raja dan setia,  6) Pemberani  7) Menjaga rakyatnya terutama fakir miskin, 8) Harus laki-laki bukan perempuan, 9) Menjauhkan diri dari bahaya dan senda gurau, 10 Dapat memilih pembantu/menteri yang berbudi dan berperangai yang baik. Untuk itu, dalam masyarakat Melayu telah tersedia sebuah koridor tentang cara memilih pemimpin. 

BACA JUGA:WOW! Pengamat ini Prediksi Guncangan Politik Usai Pilpres, Seperti Apa?

BACA JUGA:Relawan Prabowo-Gibran Siap Menangkan Pilpres 2024 Sekali Putaran, Gelar Kampanye Kreatif di Tangerang Selatan

Dalam sistem politik Melayu, untuk memilih pemimpin (raja) dikenal konsep Kuasa Suci dan Daulat. Raja Melayu dipilih berdasarkan daulat yang diperoleh melalui faktor keturunan (dinasti) dan faktor pribadi yang bersangkutan (personality). Untuk memperoleh daulat dari faktor keturunan, umumnya raja-raja Melayu dikaitkan keturunannya dengan orang-orang besar dan hebat dalam rangka meninggikan martabat yang bersangkutan. 

Sedangkan untuk memperoleh daulat dari faktor pribadi (personality) seorang raja dikaitkan dengan tuah/kesaktian/kewibawaan yang dimilikinya. Dalam konteks kekinian, tuah dan kesaktian mungkin dapat dikonversi menjadi kapabilitas dan kredibilitas seseorang (calon pemimpin).Biasanya, raja akan dianggap berdaulat bila kerajaannya berada dalam kondisi aman, makmur dan kaya. 

Bila sudah demikian (raja yang berdaulat) akan menjadi penaung rakyat yang wajib ditaati. Dari sinilah maka timbul konsep taat setia kepada raja bagi masyarakat Melayu. Sebaliknya seseorang yang berani menentang raja akan dianggap sebagai pendurhaka dan manusia paling buruk dalam pandangan masyarakat Melayu. Oleh karena itu, muncul ungkapan “pantang anak Melayu mendurhaka kepada rajanya” (Balwi, 2005: 38). 

Kategori :