PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID - Dalam tradisi budaya masyarakat Tionghoa dikenal lima festival besar yang selalu dirayakan setiap tahun dengan meriah dan penuh sukacita.
Ketua Martrisia Komda Sumsel, Chandra Husin mengatakan kelima festival besar meliputi festival musim semi atau Imlek digelar tiap tanggal 1 bulan kesatu lunar.
Kemudian, festival Cheng Beng dilakukan setiap tanggal 5 April tahun Masehi, festival musim panas pada tanggal 5 bulan kelima tahun lunar, Festival musim gugur setiap tanggal 15 bulan ke delapan tahun lunar dan festival musim dingin yang digelar setiap tanggal 22 Desember tahun Masehi.
“Di samping kelima festival besar tersebut, di dalam masyarakat Tionghoa juga dikenal dua persembahyangan yang dikhususkan ke keluarga yang meninggal,” tuturnya, Jumat (12/1). Di antaranya Cheng Beng dilakukan pada bulan tiga dan sembahyang di bulan tujuh yang lebih dikenal dengan Cioko atau Chau Tu.
BACA JUGA:Money Politic Masuk Pidana Pemilu
BACA JUGA:Istri Ganjar Pranowo Ajak Dialog Pedagang
“Kedua persembahyangan ini memiliki perbedaan yang mencolok,” jelasnya. Kalau Cheng Beng dilaksanakan untuk keluarga yang meninggal akan tetapi masih dikenali atau memiliki keluarga. Akan tetapi, untuk Cioko, Chau Tu atau Cit Gwee ini dilakukan untuk keluarga yang dilupakan atau makhluk terlantar oleh keluarganya itu yang disebabkan seluruh keluarga ataupun generasinya telah habis tak bersisa.
“Karena itu, biasanya untuk Cioko tadi dilaksanakan di tempat-tempat ibadah, salah satunya di kelenteng atau sejenisnya,” terang Chandra Husin.
Sebelum atau menjelang Cheng Beng tadi, warga Tionghoa yang berasal dari berbagai daerah dan negara akan berziarah makam keluarganya yang telah meninggal tersebut. Selain berdoa dan sembahyang untuk para keluarga yang meninggal, biasanya mereka ini akan membersihkan makam dari semak belukar sehingga menjadi lebih terang dan indah. Karena itulah, tradisi ini dikenal pula dengan Cheng Beng yang mempunyai arti bersih dan terang yang mengacu kepada makam leluhur yang sudah dibersihkan.
“Setelah semua makam leluhur tadi bersih, dilanjutkan dengan melakukan Tee Coa dan Ko Coa yakni melempar kertas emas atau perak yang dikenal dengan Gin Cua atau Kim Cua untuk tandai makam keluarganya. Terkait tradisi ini, banyak cerita berkembang di masyarakat mengenai Cheng Beng,” jelasnya.
Dimana, semua inti dari cerita tidak lain mengajarkan untuk berbakti pada orangtua dan leluhur. “Sekaligus mengingat semua jasa yang mereka yang sangatlah besar ke kita sebagai anak atau generasi penerusnya tersebut,” pungkasnya. (afi)