SUMATERAEKSPRES.ID - Pertanyaan mengenai meninggalkan Shalat Jumat karena urusan pekerjaan menjadi sorotan utama.
Bagaimana pandangan Tim Layanan Syariah dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag terhadap hal ini?Sebagai hari raya bagi umat Islam, Jumat memiliki kekhususan tersendiri karena didalamnya terdapat Shalat Jumat yang menggantikan Shalat Zhuhur.
Keutamaan dan kemuliaan Jumat telah diakui melalui banyak hadits dan bahkan diabadikan dalam Al-Quran.
BACA JUGA:Pelunasan Biaya Haji Mulai 9 Januari, Kemenag Bagi jadi 2 Tahap, Berikut Kriterianya
BACA JUGA:80 Ribu Pegawai Kemenag Masih Berstatus Non ASN. Menag Yaqut Upayakan Ini, Kesejahteraan Nomor Satu
Namun, bagaimana bila pekerjaan menjadi penghambat utama untuk melaksanakan Shalat Jumat, terutama dalam kondisi darurat yang berkaitan dengan keberlangsungan hidup masyarakat?
Menurut Tim Layanan Syariah, jika suatu pekerjaan tidak bisa ditinggalkan karena keadaan darurat, maka hal tersebut dianggap sebagai keuzuran (alasan darurat) secara syar'i.
Dalam konteks ini, pandangan Az-Zarkasyi mengenai pekerjaan dengan waktu terikat menjadi relevan.
Menurutnya, jika seseorang menerima upah untuk suatu pekerjaan dalam jangka waktu tertentu dan waktu-waktu shalat dikecualikan, pahalanya tetap utuh, baik itu Shalat Jumat maupun shalat lainnya.
BACA JUGA:CATAT! Inilah Kelengkapan Dokumen DRH Yang Wajib Dipenuhi Peserta Lulus CPPK Kemenag
BACA JUGA:AKhirnya Pengumuman! Kemenag Catat 3.620 Peserta Lolos Seleksi CPPPK, Selanjutnya Wajib Lakukan Ini
Dalam hal pekerjaan yang menuntut keberlangsungan hidup dan mengharuskan waktu shalat dikecualikan, Tim Layanan Syariah menyatakan bahwa meninggalkan Shalat Jumat dalam kondisi ini dianggap sah secara syar'i.
Analoginya, seperti orang yang terisolasi atau dalam keadaan terbatas yang dikecualikan dari kewajiban Shalat Jumat.
Namun, penting untuk dicatat bahwa keringanan ini hanya berlaku dalam situasi darurat dan tidak berlaku untuk semua profesi atau pekerjaan.
Artinya, keputusan untuk meninggalkan Shalat Jumat harus didasarkan pada keadaan darurat yang jelas, dan dalam hal ini, wajib menggantinya dengan Shalat Zhuhur empat rakaat.