SUMSEL, SUMATERAEKSPRES.ID – Perahu Zulkifli (53) menderu menyusuri Sungai Musi sampai hilir perairan Upang, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel). Suara mesin ketek bertenaga 9 PK-nya begitu kuat, melaju cepat, melayari ombak, tapi walau bunyinya nyaring tak ada asap hitam mengepul dari cerobong emisi.
Ya sejak tahun 2019, nelayan tangkap asal Sei Rasau Tanah Malang RT 18, Kelurahan Keramasan, Kecamatan Kertapati, Kota Palembang itu tak lagi menggunakan mesin perahu berbahan bakar minyak (BBM), tapi sudah dikonversi ke BBG (bahan bakar gas) LPG 3 kilogram. Paket konverter kit (konkit) ia dapatkan dari Pemerintah dalam Program Konversi BBM ke BBG untuk nelayan yang digulirkan sejak 2016. Paket itu berupa mesin penggerak kapal, 2 tabung LPG 3 kg, satu set baling-baling, selang gas, regulator, pencampur (injector), serta aksesoris lainnya. Hari itu sudah pukul 07.45 WIB. Setelah 2,5 jam menempuh perjalanan puluhan mil dari Tanah Malang, setiba di Upang Zulkifli memutar haluan perahu ke pinggiran, mencari spot muara yang kira-kira banyak ikan sungainya. Tak lama ia mematikan mesin dan beringsut dari pojokan ke tengah perahu sepanjang 10 meter tersebut. Cuaca masih sedikit berkabut, Zulkifli berdiri memandang jauh ke laut lepas (Selat Bangka), mengamati permukaan air yang beriak-riak, dan mengambil jaring ikan berukuran 2,5 inci. Ia bersiap-siap, melebarkan jala, melempar ke permukaan air, dan berhasil menjaring belasan ikan juaro yang bergerombolan. “Sekali menjala 2-3 kilogram ikan juaro tertangkap,” ujarnya kepada Sumateraekspres.id, Rabu (6/12/2023). Jika serasa sedang banyak ikan patin sungai, ia menarik jaring berukuran 6-7 inci, tapi populasi ikan patin sudah lebih sedikit di Sungai Musi. “Seharian melaut sampai sore, dapat sekitar 40-50 kg ikan juaro, paling sedikit 20 kg,” ungkap Ketua Kelompok Nelayan Mawar ini. Ada juga ikan seluang, cuma rata-rata 3 kg demikian pula patin. Dalam seminggu, Zulkifli melaut hanya 3 kali ke hilir dan itu tidak menginap, tetapi langsung pulang pergi. Pria yang sudah lebih dari 30 tahun menjalani profesi nelayan tangkap ini mengaku mencari ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Serasa sudah cukup, ia istirahat ke laut. Ikan hasil tangkapan ia jual ke kapal-kapal pengepul yang banyak di sepanjang Sungai Musi, harganya lebih mahal dari pasar tradisional seperti ikan juaro Rp20 ribu, seluang Rp40 ribu, dan patin sungai Rp70 ribu per kg. “Nelayan kecil seperti kami, dengan perahu bertenaga paling besar 9 PK tak terlalu banyak menangkap ikan. Alat tangkap yang kami gunakan pun sederhana hanya berupa jaring,” ujarnya. Berbeda dengan nelayan-nelayan yang menggunakan kapal besar bermesin 5-10 GT, mereka melaut berminggu-minggu, tangkapannya pun banyak, beratus kilogram hingga berapa ton ikan laut. “Nelayan kecil nangkapnya di hulu atau hilir sungai, kapal besar sudah ke laut lepas (Selat Bangka, red),” sebutnya. Dibanding nelayan di kampungnya, Zulkifli termasuk paling jauh berlayar dan berani “melawan” ombak meski berangkat sendiri sejak subuh. Temannya Syarifudin (58) dari Sei Rasau memilih menjala di perairan Sungai Musi dalam kota. “Tiap hari mencari ikan walau hasilnya tak banyak. Biasanya saya menjaring seluang, sekali berlayar dapat 3 kg-an, dijual Rp120 ribu atau Rp40 ribu per kg. Lumayan untuk biaya hidup sehari,” ungkap Syarifudin. Zulkifli mengaku nelayan Sungsang atau Banyuasin banyak menangkap ikan ke laut atau Selat Bangka, tapi lebih sedikit menangkap di muara. “Di Upang ikannya masih lebih banyak dibanding Sungai Musi dalam kota (Palembang), maka saya rela-relain ke sini (Upang, red) walau perjalanannya jauh,” lanjutnya.PAKAI GAS 3 KG : Nelayan Tanah Malang, Zulkifli menghidupkan mesin perahunya yang menggunakan bahan bakar LPG 3 kg untuk melaut ke perairan Sungai Musi sampai muara Sungsang.-foto : Rendi/Sumeks- Ketika ada nelayan laut menggunakan trawl mini atau cantrang, ia mengaku tak pernah tergiur memakai alat tangkap yang dilarang tersebut. Hasilnya mungkin banyak, namun Zulkifli sedikit paham bahwa cantrang merusak terumbu karang dan tempat bertelur ikan lantaran menyentuh dasar perairan. Baik Zulkifli maupun Syarifudin, mereka nelayan kecil melaut untuk hidup, mungkin berbeda dengan yang mencari keuntungan. Mencari untung berarti menangkap ikan sebanyak-banyaknya, dengan segala cara, ilegal fishing, masuk wilayah terlarang, menggunakan peralatan tangkap dilarang seperti termaktub dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 18/2021 tentang Penempatan Alat Penangkap Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di wilayah Pengelolaan Perikanan RI dan laut lepas. Alat penangkapan ikan (API) yang dilarang itu misalnya cantrang, dogol, pair seine, pukat hela dasar dan kembar, jaring ingsang karena merusak kebelanjutan sumber daya ikan. Yang diperbolehkan pukat cincin pelagis, jaring tarik berkantong, payang, jaring hela udang berkantong, penggaruk, jala jatuh, jala tebar. Jika sejak dulu penangkapan ikan lebih arif dan terukur, layaknya kepatutan nelayan kecil mencari ikan secukupnya, mungkin populasi ikan saat ini tidak akan tergerus. Fahrurozi, Kepala Desa Sungsang I periode 2015-2022 menceritakan yang membuat ikan laut semakin sedikit di perairan Sungsang, Banyuasin atau Selat Bangka karena pada tahun 2003 kapal-kapal Thailand penangkap ikan sempat masuk menggunakan trawl (pukat harimau). Waktu itu banyak pula yang kena tangkap petugas patroli. “Sekarang memang tak ada lagi kapal-kapal asing, namun efeknya masih terasa. Produksi ikan jauh lebih sedikit,” jelasnya. Persoalannya tidak itu saja, Fahrurozi mengaku ada saja nelayan laut yang masih gunakan trawl mini atau cantrang, mengingat modalnya murah. Trawl mini bahkan bisa bikin sendiri dengan biaya Rp8-10 juta. Sementara mau beli alat tangkap ramah lingkungan, mereka mungkin tidak punya modal. Harganya mahal seperti jaring kantong ikan atau senar (tangsi) itu saja Rp30-40 juta. Kalau terlihat petugas patroli laut sudah pasti ditangkap, sebab pukat harimau atau trawl mini inilah yang menghabiskan biota laut. Diakuinya, ketika populasi ikan masih banyak sekali tahun 1990-an, nelayan dengan kapal kecil saja bisa memperoleh 1 ton ikan laut kualitas ekspor (super), paling sedikit 5 kwintal sekali berlayar. Hasil penjualan ikan ke pengepul sampai Rp15-20 juta, dipotong biaya ransum (bekal makanan) dan minyak (BBM) kapal sisa uang Rp7-10 juta dibagi 4-5 orang ABK (anak buah kapal). Saat ini jauh berkurang, dapat ratusan kilogram ikan super sudah syukur. Kadang ada yang cuma balik modal ransum dan BBM saja. “Tapi warga kita tak ada pilihan lain, nelayan adalah mata pencaharian utama. Dari 1.500-an KK penduduk Desa Sungsang I, 85 persen berprofesi nelayan tangkap,” aku Fahrurozi. Mereka biasanya melaut ke Selat Bangka, Air Hitam Laut (Jambi), sampai laut Lampung menggunakan kapal bermesin 5-10 GT. Modal sekali berangkat Rp10 juta, dengan lama melaut 7-10 hari. Jika tak ada modal, nelayan mencari ikan di seputar muara untuk makan sehari-hari. Dikatakan, nelayan Sungsang rata-rata sudah mengantongi izin penangkapan ikan dari Pemerintah, baik itu BPKP (bukti pencatatan kapal perikanan), SIPI (surat izin penangkapan ikan), dan SIKPI (surat izin kapal pengangkut ikan). Untuk izin kapal mesin 0-5 GT didapat dari kabupaten/kota, kapal 5-30 GT izin provinsi, dan di atas 30 GT dari pusat (KKP). Masing-masing kapal punya batas wilayah tangkap misalnya 0-5 GT di perairan Sungsang, 5-30 GT sampai Laut Natuna Utara. “Nelayan wajib lapor ke Syahbandar setiap mau berlayar, biasanya mereka minta surat pengantar kepala desa selama ini,” tegasnya. Ia berharap seiring penerapan penangkapan ikan terukur (PIT) oleh KKP, sumber daya laut yang ada di perairan Sungsang atau Selat Bangka kembali pulih, ikan-ikan beranak pinak, dan biota laut tetap terjaga. “Semua nelayan, pelaku usaha, atau pemodal juga dapat lebih arif dalam mencari ikan,” tandasnya. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) seperti dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), produksi perikanan tangkap di Sumsel untuk perikanan laut, pada 2019 sebanyak 92.692 ton, 2020 sebanyak 64.154 ton, dan 2021 ada 54.277 ton. Lalu perairan umum pada 2019-2021, masing-masing 104.971 ton, 61.194 ton, dan 63.460 ton. Untuk mencegah produksi ikan tidak kian menurun, KKP sebenarnya telah menyiapkan peta jalan (roadmap) pengelolaan laut secara berkelanjutan dengan konsep ekonomi biru. Ada lima program prioritas berlandaskan ekologi, salah satu di antaranya PIT berbasis kuota di enam zona penangkapan ikan dari wilayah Barat sampai Timur Indonesia. PIT menjadi perwujudan transformasi perikanan tangkap sehingga memberi manfaat bagi keberlanjutan sumber daya ikan dan ekosistem laut, meningkatkan mutu dan daya saing produk perikanan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pelaku usaha, serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkualitas. Belajar kepatutan (kearifan lokal) dari nelayan kecil, KKP mendorong semua nelayan dan pelaku usaha perikanan-kelautan lebih bijak menangkap ikan dan mengelola sumber daya alam perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Di tahun 2023, KKP melaksanakan tujuh tahapan kebijakan supaya PIT berbasis kuota terlaksana 2024. Apalagi mengingat saat ini masih banyak ditemukan kapal perikanan Indonesia beroperasi tidak sesuai jalur penangkapan dan daerah penangkapan ikannya (DPI). Terbaru pada Agustus 2023, ada 8 kapal ditertibkan Direktorat Jenderal (Dirjen) Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) karena beroperasi tidak sesuai DPI dan di luar zona penangkapan kapal izin daerah (>12 mil). Penertiban itu hasil operasi Kapal Pengawas Kelautan dan Perikanan HIU 13 di perairan sekitar Pulau Sulabesi Sanana, Maluku Utara (WPP 714) dan KP HIU 16 di Perairan Selat Malaka (WPP 571). Tujuh tahapan PIT itu meliputi evaluasi perizinan mencakup surat izin usaha perikanan (SIUP), perizinan berusaha, subsektor penangkapan ikan dan pengangkutan ikan yang aktif. Selanjutnya, pemberian izin usaha sisa musim penangkapan 2023, perubahan format perizinan SIUP subsektor penangkapan dan pengangkutan ikan menjadi format PIT. Kemudian Layanan perizinan musim penangkapan ikan 2024, layanan sertifikat kelaikan kapal perikanan (SKKP), pemasangan dan pengaktifan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (SPKP), dan penggunaan aplikasi PIT secara elektronik atau e-PIT kepada seluruh kapal penangkapan dan pengangkutan ikan di atas 5 GT paling lambat 1 Januari 2024. PIT juga mengatur area penangkapan ikan, jumlah ikan yang ditangkap, jumlah kapal yang dapat melakukan penangkapan, pengaturan pelabuhan tempat pendaratan ikan, dan jenis alat yang diperbolehkan. Meski belakangan KKP menunda kebijakan PIT berbasis kuota menjadi tahun 2025. Relaksasi ini dengan tujuan supaya sosialisasi, edukasi, dan internalisasi dalam transformasi tata kelola perikanan berjalan optimal. Tetapi kebijakan PIT yang mengatur pembagian zonasi wilayah pengelolaan perikanan (WPP) tetap dilaksanakan. Ke enam zona WPP itu yakni zona 1 berbatasan dengan Laut China Selatan, zona 2 mulai dari Bitung sampai Biak di WPP 716-717, zona 3 di WPP 714-715 DAN 718 di Laut Arafura, Laut Seram, dan Laut Banda, zona 4 di WPP 572-573 dari Kupang sampai Aceh yang berbatasan dengan Samudra Hindia, zona 5 WPP 571 di Selat Malaka, dan zona 6 di WPP 712-713 di Laut Jawa, Laut Sulawesi, Selat Makassar, dan Kalimantan. “PIT bertujuan memperbaiki tata kelola perikanan tangkap, mulai dari pendataan, perizinan, dan keberlanjutan. Karena itu kami memastikan pengawasan setiap zona penangkapan ikan diperketat agar pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan dapat dilakukan secara berkelanjutan,” ungkap Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono dalam keterangannya. Di tahun 2023, KKP menargetkan produksi perikanan bisa mencapai 30,37 juta ton, meliputi perikanan tangkap 8,73 juta ton dan perikanan budidaya 21,58 juta ton. Angka ini naik dari tahun 2022 yang sebesar 24,85 juta ton, dengan pembagian perikanan tangkap 7,99 juta ton dan budidaya 16,87 juta ton. Begitupula dibanding tahun 2021 yang produksinya hanya 21,87 juta ton. “Ekonomi biru (blue economy) berkelanjutan sebagai strategi kita meningkatkan produksi perikanan nasional,” pungkasnya. (fad)
Kategori :