“Dan saya merasa lebih nyaman mengawasi jalannya pemerintahan. Saya sudah terbiasa 9 tahun di legislatif,” beber Hafisz yang berlatar belakang pengusaha ini.
Dengan dukungan pengawasan dari legislative, jalannya sebuah pemerintahan bisa baik. Dalam pemikiran Hafisz, suatu pemerintahan yang masih dalam tahap membangun biasanya banyak sisi yang masih lemah.
Pertama, aparaturnya. Kedua, sistem birokrasi yang masih mendahulukan nepotisme. Di mana keinginan mayarakat untuk memiliki seorang pemimpin yang berpihak pada rakyat sangat kental.
"Seperti Sumsel, masih masuk provinsi berkembang, belum bisa dikatakan maju. Karena saya sendiri menempuh jarak 200 km, makan waktu sampai 6 jam ke Bayung Lencir Muba,” ungkapnya.
Hafisz menilai, kondisi ini masih jauh tertinggal. “Kalau 6 jam itu saya tambah 1 jam lagi, saya bisa ke Tokyo. Jadi kalau berbicara kemajuan, alangkah tertinggalnya kita. Untuk menggerakkan pembangunan, harus memiliki komitmen yang luar biasa,” tegasnya.
Belum lagi masih banyak warga miskin. Juga perlunya dibangun sistem yang kuat sehingga mampu menghadapi tekanan.
“Ketika ada yang memaksakan membuat kebijakan nepotisme, kita harus mampu menahan supaya tetap good government. Pemerintahan yang bersih tidak berfungsi efektif kalau tidak didukung pemerintah yang memadai,” bebernya.
Hafisz merasa jadi pemimpin eksekutif punya beban luar biasa. “Kalau saya duduk di sana, akan efektif 60 hingga 70 persen. Sisanya perkara, alangkah banyak yang harus diselesaikan. Jangankan se-Sumsel, di kampung saya saja masih banyak yang harus dipikirkan. Karena itu, lebih nyaman di pengawasan saja,” tuturnya. Meski pun, melihat kinerja pemerintah sekarang, ada rasa kurang puas dalam dirinya.
Tapi Hafisz tidak merasa lebih baik dari yang memerintah. “Tapi kita bisa menilai pemerintah tak efektif. Angka pengangguran banyak, pertumbuhan Sumsel oke lah di atas rata-rata nasional. Tapi tidak mengangkat grassroad. Artinya efektifitas ekonomi yang dibangun belum tergambarkan dengan APBD yang disetujui dipusat,” ulas dia.
Di DPRD kami transparan. Berkumpul musyawarah dan selesai. Tapi, disini tidak seperti itu, Bahasa banyak, suku banyak dan banyak yang harus diselesaikan. Apalagi Ketika berbicara suku, akan terangkat egoism masing-masing daerah,” katanya.
“Tetapi, kalau kita berbicara kinerja sebagai legislative, sepertinya saya sampaikan kalau dalam sistem bernegara legislative dan eksekutif adalah bagian dari proses pemerintahan negara. Eksekutif tidak bisa bekerja tanpa legislative dan sebaliknya. Maka kami akan melakukan feedback sebelum melakukan kebijakan dengan cara turun langsung ke pemilihan konstituen."
"Disitu kita akan dapatkan informasi akurat terkait kondisi didaerah tersebut. Misalkan Bappennas membuat perumahan tetapi tidak sesuai dengan kebutuhan yang disana. Tempat persawahan dibuat pertanian kering. Dan orang perkebunan sawit tetapi tidak ada hilirisasi sawit,” kata dia.
Apalagi, sejauh ini banyak kepentingan sarat. Sehingga tidak mewakili kehendak rakyat. Dia mencontohkan Ketika datang di Bayung Lencir, satu desa tidak ada air bersih.
“Kok tidak ada air bersih dan menggunakan air Sungai. Statistic mengatakan Sumsel banyak kena ginjal, lantaran memang banyak penggunaan air kurang bersih.
“Mestinya hal ini tidak terjadi tetapi dibiarkan bertahun-tahun. Muba itu sempat terbesar nomor 3 APBD-nya di Indonesia sebagai daerah penghasil Migas. Dan inilah yang kami sampaikan kepada keuangan dan Bappenas."
"Mbok yah, mengambil kebijakan harus sesuai dengan kondisi yang ada disitu. Ketika kita buat kebijakan harus sesuai dengan yang ada disana. Tetapi, jangan sampai membuat kebijhakan tidak berpihak kepada orang disana. Uang keringat rakyat tidak menghasilkan seperti yang ada disana,” paparnya.