Oleh : Intan Wahyuni, S.ST., M.Si.
Pelaksana pada Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Palembang
Bonus demografi akan mencapai puncaknya pada tahun 2030 dan berakhir pada tahun 2040. Artinya, presiden yang terpilih dalam Pilpres 2024 akan mengantarkan Indonesia memasuki puncak bonus demografi pada permulaan tahun 2030.
Menurut proyeksi penduduk oleh Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk berusia produktif atau 15-64 tahun akan mendominasi pada tahun 2024 nanti. Jumlahnya mencapai 191.570.000 penduduk atau 67,9% dari total.
Sementara usia non produktif, yakni di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun berjumlah 90.676.600 penduduk yang setara dengan 32,1% dari keseluruhan penduduk.
Pemilih muda akan mewarnai pemilihan umum 2024. Sehingga tak pelak jika para politisi akan menargetkan penduduk berusia produktif untuk ikut meramaikan kancah politik dalam pesta demokrasi Indonesia.
Pada Pemilu 2024 mendatang, para pemuda Indonesia atau biasa dikenal dengan sebutan generasi Milenial dan Generazi Z (atau disingkat Gen MZ), diharapkan dapat memilih pemimpin yang tepat.
Tujuan penting untuk memilih pemimpin yang tepat adalah agar dapat memimpin Indonesia memanfaatkan bonus demografi sekaligus memandu negara masuk menjadi negara berpenghasilan tinggi (high income country).
Jika kita memilih pemimpin yang salah, maka akan berisiko membawa kegagalan dalam mengelola bonus demografi Indonesia ke depannya. Jika Indonesia gagal memanfaatkan bonus demografi, maka akan terjebak dalam middle income trap.
Middle income trap atau perangkap pendapatan menengah adalah sebuah istilah ekonomi yang diasosiasikan dengan kegagalan suatu negara untuk naik level dari negara berpendapatan rendah ke pendapatan tinggi.
Momentum ini juga seyogianya mendorong para pemuda untuk berkiprah melalui peran aktifnya di lapangan. Pemuda perlu ambil bagian dalam perannya untuk menciptakan dan mensukseskan hajat demokrasi yang sehat alih-alih berpangku tangan karena merasa suara pemuda sebagai suara mayoritas.
Tantangan terbesar dalam pemilu yang akan dihadapi pemilih dari generasi muda saat ini; sejauh mana mereka mampu mempertahankan independensi pikiran di tengah serbuan opini dan propaganda di tahun politik.
Yang paling dikhawatirkan ialah bila di antara para pemuda kita terbawa dan teracuni oleh sentimen-sentimen politik yang diproduksi elite. Termasuk di dalamnya pihak yang dengan sengaja mempersempit sudut pandang dan objektifitas yang dapat mempengaruhi para pemilih pemula.
Pada akhirnya kita semua hanya berharap bahwa besarnya hak suara yang dimiliki oleh generasi muda pada Pemilu 2024, semoga berbanding lurus dengan besarnya kesadaran serta tanggung jawab mereka dalam menentukan nasib bangsa ke depan. (*)