SUMSEL – Deru gelombang perairan Muara Sungsang, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) begitu kuat menghantam dermaga Desa Sungsang I, Kecamatan Banyuasin II, Kamis pagi (19/1). Hujan turun cukup deras, pasang surut air laut naik hampir ke batas jalan desa, dermaga begoyang-goyang, saat itu Husni (45) melabuhkan kapalnya yang bermesin 5 GT (gross tonase) pasca 5 hari melaut.
“Biasanya kami seminggu berlayar menangkap ikan ke Selat Bangka, cuma gelombang air laut sedang tinggi mencapai 3 meter karena sekarang puncak musim penghujan, sehingga kami pulang lebih cepat. Menantang ombak, alamat karam dan tak selamat,” ujar nelayan tangkap dari Desa Sungsang I ini.Baca juga : Rumah Subsidi Bakal Rp160 Jutaan Memang awalnya Husni sempat ragu melaut dengan 3 ABK (anak buah kapal)-nya saat itu, namun supaya dapur tetap ngebul dia harus berangkat. “Lumayan kami masih dapat beberapa ratus kilogram ikan kualitas super, jadi tak terlalu rugi,” lanjutnya. Ikan laut itu untuk ekspor seperti sembilang, sebelah laut, bawal putih, pari, senangin, udang pink, dengan harga cukup mahal, misalnya bawal putih ukuran 7 ons-1,2 kg mencapai Rp300 ribu per kg. Dengan segala risiko bertaruh nyawa di laut, nyatanya bukan berarti Husni dan semua nelayan Sungsang mendapat penghasilan yang besar. Modal melaut bisa sampai Rp10 juta, tapi berhutang dulu beli minyak kapal. Biaya itu juga untuk ransum atau bekal dan upah ABK. “Tadi kami cuma dapat uang Rp4 juta setelah dipotong biaya operasional. Itu pun kita bagi dengan pemilik kapal dan 3 ABK. Jadi kecilah penghasilan nelayan, kami hanya buruh bukan pemodal,” lanjutnya. Kecuali saat melaut dapat berton-ton ikan, mungkin setiap nelayan dapat Rp1-2 juta-an. Baca juga : Ada Bansos Rp2 Juta untuk Anak SMA, Syaratnya.. Husni melangkah gontai menuju rumahnya yang tak jauh dari pesisir sungai. Rumahnya masih kayu yang mulai lapuk, berdiri di atas rawa, beratap seng ukuran sekitar 40 meter persegi. Jika mau mandi atau mencuci pakaian, warga Sungsang sudah terbiasa ke muara Sungai Musi begitupula Husni dan anak-anaknya, sementara untuk air minum mereka menampung air hujan. “Mau bangun rumah batu butuh puluhan juta, nelayan tidak punya banyak uang. Harga bahan bangunan serba mahal, begitupula upah tukang. Hasil melaut sepekan kadang habis untuk kebutuhan hidup sehari-hari saja,” ceritanya.
Makanya tak hanya rumah Husni, hampir semua nelayan di Desa Sungsang menempati rumah kayu yang berdiri di pesisir Sungai Musi. Kalau ada yang bangun rumah batu, mungkin dia pemodal nelayan, pemilik kapal, atau pengepul (pengusaha) ikan. “Mimpi saya sejak dulu punya rumah permanen (batu) yang layak, ingin sekali kredit di bank katanya lebih murah. Tapi tak seperti di Kota (Palembang, red), di perairan Sungsang yang jauh di pelosok, mana ada perumahan. Mana ada juga rumah yang bisa dibeli nelayan secara kredit (KPR, red),” lanjutnya.Baca juga : Bulat, Kades Sumsel Satu Suara Belakangan, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) memberi kabar baik bagi nelayan Sungsang. “HNSI mau bangun perumahan untuk nelayan di Desa Marga Sungsang, Kecamatan Banyuasin II. Nelayan yang berminat bisa mengajukan diri, tanpa uang muka (down payment) dan saya senang sekali. Saya langsung mendaftar, nanti katanya kredit bisa lewat Bank BTN. Mimpi punya rumah yang layak akhirnya dapat terwujud, tanpa harus menyediakan uang puluhan juta. Kalau cuma mengangsur Rp1 juta sebulan, saya masih sanggup,” ungkap Husni. Mantan Kepala Desa Sungsang I periode 2015-2022, H Fahrurozi mengakui ada program HNSI Sumsel yang ingin bangun perumahan subsidi HNSI Residence untuk nelayan Sungsang di Desa Marga Sungsang. “Nelayan mengajukan permohonan terlebih dahulu ke HNSI dan booking unit rumah. Nanti pembayarannya bisa kredit via bank, HNSI akan menjembatani nelayan mendapatkan akses pembiayaan (KPR) dari Bank BTN,” ujarnya. Baca juga : Bawa KTP, Batasi 2 Tabung Dia menerangkan nelayan Sungsang sangat antusias ingin membeli rumah subsidi karena murah dan bisa KPR. “Ada sekitar 75 unit rumah mau dibangun di lahan seluas satu hektar dan semuanya sudah terjual,” bebernya. Ini cukup wajar, sebab jika bangun sendiri rumah permanen (batu), nelayan tak punya uang. Makanya rata-rata rumah nelayan itu hanya rumah panggung dari kayu di pesisir sungai. Dengan kehadiran Bank BTN dan HNSI, nelayan bisa wujudkan rumah impian yang layak huni. “Waktu masih jabat Kades, kami harus gelar program bedah rumah nelayan tak layak huni atau yang rusak dari dana desa. Tapi ukurannya hanya 24 meter persegi, anggaran terbatas. Tak semua rumah dapat dibedah,” bebernya.
Di Desa Sungsang I ada sebanyak 1.500-an KK dan 90 persen warga berprofesi sebagai nelayan tangkap. “Selama ini nelayan kita belum pernah mendapat akses rumah subsidi. Pertama, karena sebelumnya memang belum ada perumahan subsidi di wilayah Sungsang, baru tahun inilah rencananya. Kedua, karena nelayan (pekerja informal, red) juga sulit mengakses KPR bank lantaran tak punya slip gaji dan penghasilan tidak tetap. Kalaupun ada warga Sungsang kredit rumah, mereka itu rata-rata pekerja formal yang membeli rumah di Talang Jambe, Mata Merah, Sematang Borang Kota Palembang,” terang Fahrurozi.Dia menyebut, bank yang berani biayai pekerja informal seperti nelayan berarti sangat aware dengan hidup layak masyarakat, walaupun risikonya tinggi. “Nelayan Sungsang (buruh) rata-rata penghasilannya Rp2 juta-an sebulan, tetapi nelayan besar atau pemodal yang punya kapal seharga Rp200 juta, bisa mendapat Rp10 juta per bulan. Melaut memang tak sepanjang bulan, kadang sebulan 2-3 kali berlayar, sekali melaut paling lama sepekan. Ombak besar, tak belayar,” bebernya. Karenanya, jika Bank BTN memberi akses KPR bagi nelayan, berarti meningkatkan kesejahteraan mereka dan membantu rakyat hidup lebih layak. Baca juga : Sulit Bangkit karena Duit “Selama ini warga kita kredit rumah di Palembang mayoritas lewat BTN. Kami juga tahunya juga BTN. Mudah-mudahan nelayan Sungsang nanti juga begitu. Dengan KPR, nelayan bisa membeli rumah lebih ringan. Angsurannya paling Rp1 juta per bulan selama 15 tahun. Saya kira nelayan masih sanggup beli kredit, ketimbang bangun sendiri yang entah kapan terwujud,” imbuh pria yang juga sempat jadi nelayan ini. Hal ini pun mengajarkan nelayan berinvestasi atau save money, karena KPR subsidi itu menguntungkan. Hitungannya, harga rumah subsidi naik setiap tahun, bahkan 10 tahun ke depan bisa capai 2 kali lipat. Jadi tak rugi walau mencicil 10-15 tahun. Hasil Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia mengindikasikan peningkatan harga properti residensial di pasar primer secara tahunan terus berlanjut. Di triwulan II 2022, Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) tercatat sebesar 219,47, padahal setahun sebelumnya (triwulan II 2021) 215,77. Lalu dibanding 10 tahun lalu atau triwulan II 2011, IHPR hanya 140, artinya ada peningkatan sekitar 56 persen.
Riil-nya di lapangan lebih besar lagi, kenaikan harga rumah sudah lebih dari 2 kali lipat. Di tahun 2012, harga rumah subsidi masih dijual Rp70 juta, sementara 2022 mencapai Rp150,5 juta (wilayah Sumatera), lalu 2023 diproyeksi naik lagi 7-8 persen. Artinya jika nelayan membeli rumah subsidi tahun ini Rp150,5 juta, 10 tahun mendatang harganya bisa menjadi Rp300 juta-an. “Semoga mimpi warga kami, mimpi nelayan Sungsang mendapat rumah subsidi dan KPR di Bank BTN terwujud,” harapnya.Ketua HNSI Sumsel, Ponco Darmono mengatakan beberapa rumah nelayan merupakan pemukiman padat, kondisinya kurang layak, WC-nya juga kurang higienis, sumber air dari Sungai Musi. Sehingga pihaknya berinisiatif membangun perumahan untuk nelayan Sungsang, beserta fasilitasnya seperti water treatment, lahan bermain, musola. “Lokasinya di pinggir jalan Desa Marga Sungsang. Sekarang lahannya proses penimbunan. Ada 75 unit rumah akan kita bangun dan semuanya sudah sold out (habis) dibeli nelayan sejak dipasarkan Desember 2022,” katanya, Jumat (20/1). Karena rumah subsidi ini khusus nelayan Desa Marga Sungsang, Sungsang 1, 2, 3, dan 4, maka mereka harus mendapat rekomendasi kepala desa masing-masing. Harga rumah subsidi seharusnya Rp150,5 juta, tetapi untuk nelayan disubsidi menjadi Rp135 juta. “Minatnya sangat tinggi, apalagi bagi buruh nelayan ini pertama kali bisa kredit rumah,” beber pria yang juga Ketua Asosiasi Kontraktor Bangunan Kontruksi Indonesia (Akbarindo) Kota Palembang ini. Selanjutnya Maret nanti HNSI akan mulai meletakan batu pertama, mendirikan rumah contoh, serta menjajaki bank yang mau biayai KPR nelayan. “Berkas persyaratan KPR-nya sudah saya kumpulkan, tinggal kita ajukan. Tapi perbankan sangat selektif, apalagi jika calon debiturnya non fix income. Namun setahu saya Bank BTN bisa, karena sudah biayai pekerja informal, makanya bank ini rencananya kita gandeng untuk PKS (perjanjian kerjasama),” tutur Ponco. Dia mengaku, bareng Perumnas sempat ngobrol dengan pihak Bank BTN, responnya pun bagus.
“Beberapa rumah Perumnas di Talang Keramat sempat saya bantu pasarkan ke nelayan. Ternyata laku dan ada yang KPR via BTN,” lanjutnya. Karenanya jika BTN juga bisa cover KPR nelayan membeli rumah di HNSI Residence, pihaknya senang sekali. Nelayan memang tak punya slip gaji, namun HNSI siap memberi jaminan. Mudah-mudahan juga, lanjut Ponco, program BP2BT (bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan) dari Pemerintah melalui Bank BTN berlanjut kembali tahun ini. “Artinya nelayan bisa mendapat subsidi uang muka Rp40 juta, sehingga KPR-nya cukup Rp95 juta,” pungkasnya.Sementara, ketika banyak perbankan lebih fokus menggarap pekerja formal yang minim risiko NPL (non-perfoming loan), Bank BTN sudah selangkah lebih maju. Tak hanya salurkan KPR untuk pekerja formal (pegawai/karyawan, red), juga menggarap segmen informal seperti pedagang pasar, ojek online, nelayan, atau petani. Pembiayaannya, salah satunya melalui program KPR Mikro untuk MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) dan pekerja informal berbasis komunitas. Ada juga skema KPR BP2BT yang ditawarkan oleh Pemerintah dan BTN, dimana pekerja informal hanya perlu menabung di BTN selama 3 bulan, setelah memenuhi syarat, mereka bisa mengajukan permohonan KPR BP2BT. Tak hanya itu, Bank BTN bahkan jemput bola menggandeng beberapa komunitas untuk penyaluran KPR BP2BT. Misalnya bekerja sama dengan Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) dan Gojek guna biayai KPR anggotanya. Sebenarnya bagi BTN segmen informal juga potensial, mereka punya penghasilan jelas meski tidak tetap. Sayangnya, dari jumlah pekerja informal di Indonesia sebanyak 80,24 juta orang atau 59,31 persen per Agustus 2022, baru sekitar 7 persen pekerja informal tercover pembiayaan rumah subsidi. Berbeda dengan pekerja formal yang sudah mencapai 93 persen.
Untuk itu, BTN terus mencari skema yang bisa mempermudah pekerja informal menikmati KPR. “Kami sudah memulai perluasan kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk sektor informal untuk pembiayaan perumahan. Ada kerjasama dengan Ikappi yang jumlah anggotanya 12 juta orang di 12 ribu pasar seluruh Indonesia, kerjasama dengan Gojek, dan seterusnya. Ini semua kami lakukan sebagaimana mandat Pemerintah bahwa BTN fokus pada perumahan rakyat,” ujar Direktur Utama Bank BTN, Haru Koesmahargyo dalam Webinar Economic & Property Outlook 2023 live Youtube Bank BTN, Desember 2022 lalu.Kemudian amanat konstitusi Pasal 28, menyatakan setiap orang berhak hidup sejahtera, lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. “Disitu disebutkan ada hak masyarakat menempati rumah tinggal yang layak dan ini tugas kita semua menyediakan perumahan yang terjangkau dan sehat bagi masyarakat Indonesia,” bebernya. Menurut Haru, Bank BTN juga meningkatkan layanan dan menyedikan pola-pola pembiayaan fleksibel, mudah diakses, dan affordable (terjangkau) bagi seluruh masyarakat dan konsumen. Selain program BP2BT untuk pekerja informal, pihaknya telah menjalankan skema Rent to Own yang memudahkan masyarakat memiliki rumah dengan cara menyewa terlebih dahulu. “Ada juga pola pembiayaan ringan menyesuaikan penghasilan atau kemampuan konsumen, yaitu metode graduated payment mortgage dan KPR dengan skema SSO (staircasing shared ownership),” sebutnya.
BTN pun telah mengembangkan digital mortgage yang memudahkan konsumen masuk ke ekosistem perumahan dan mengakses pembiayaan BTN. Hingga akhir September 2022, kredit perumahan yang disalurkan BTN mencapai Rp256,48 triliun dan mayoritas KPR subsidi Rp140,97 triliun. “Tahun 2023 kami optimis sektor properti terus bertumbuh dan menopang PDB yang kini dominasi 2,4 persen. Pertumbuhan kredit, khususnya KPR juga atas dorongan Pemerintah, regulator, stakeholder (developer) berupa insentif PPN, BPHTB, perpanjangan relaksasi LTV (loan to value) untuk kredit properti tahun 2023, keringanan membeli rumah, dan sebagainya,” tandas Haru.Ketua DPD Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Sumsel, Syamsu Rusman mengatakan perbankan cukup selektif biayai MBR non fix income karena berisiko. “Tapi kami apresiasi. BTN berani cover segmen informal, seperti tukang bakso, pedagang pasar, ojek online, perajin tempe. Termasuk nelayan, kendati pembiayaannya melalui komunitas sebagai penjamin (pemberi referensi) secara kolektif. Sudah banyak (pekerja informal, red) di seluruh Indonesia yang KPR-nya via BTN,” ungkap Syamsu. Pekerja informal bisa mengakses program KPR BP2BT maupun FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) untuk tahun ini. (fad)
Kategori :