Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi
Mahendra Kusuma, SH, MH -Dosen PNSD Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Palembang-
SUMATERAEKSPRES.ID - Korupsi sudah melanda negeri ini sejak lama dan hampir menyentuh semua lini kehidupan masyarakat dan berlang-sung terus dalam bentuk yang lebih rumit dan canggih.
Hal ini juga menjadi salah satu penyebab sulitnya memberantas tindak pidana korupsi. Sepertinya korupsi sudah sampai pada apa yang disebut oleh Robert Klitgaard sebagai budaya korupsi. Bung Hatta pernah juga mengemukakan bahwa korupsi telah menjadi budaya di Indonesia.
BACA JUGA:Manfaatkan 18 Ha Lahan untuk Bertanam Sayur, Polres Prabumulih Dukung Ketahanan Pangan
BACA JUGA:Tebarkan Manfaat di Berbagai Sektor, YBM PLN UIP Sumbagsel Gelar Khitan Massal
Korupsi seolah sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, dan dianggap hal yang biasa. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari lumrah kita temukan di mana untuk mempercepat suatu urusan, seseorang biasa memberikan uang pelicin atau kebiasaan memberikan uang rokok (bakhshish system), serta memberikan fasilitas dan hadiah, atau juga lebih diarahkan pada keengganan sebagian besar warga masyarakat melaporkan oknum pejabat negara, birokrat, konglomerat, dan oknum aparat yang melakukan korupsi.
Perguruan tinggi merupakan produsen kalangan menengah dan terdidik yang berperan besar dalam pengelolaan dan kemajuan bangsa. Berkaitan dengan maraknya kasus korupsi di Tanah Air, kontribusi perguruan tinggi sangat diharapkan sebagai kekuatan moral untuk menyuarakan berbagai penyimpangan yang terjadi di negeri tercinta ini. KPK sangat mengharapkan peran perguruan tinggi dalam mewujudkan komitmen antikorupsi.
Sebagai wujud komitmen perguruan tinggi dalam pencegahan korupsi, para civitas akademika dari 86 perguruan tinggi seluruh Indonesia telah mendeklarasikan antikorupsi di UGM, pada tanggal 26 Oktober 2016 dalam rangkaian acara Anti-Corruption Summit 2016.
Ada lima pokok komitmen yang dideklarasikan, antara lain: (1) berpegang teguh untuk berpartisipasi aktif dalam mencegah dan memberantas korupsi; (2) menciptakan dan menjaga integritas antikorupsi secara pribadi maupun institusi; (3) membuat dan menguatkan jaringan antikorupsi antarperguruan tinggi; (4) membangun sistem dan tata kelola perguruan tinggi yang anti korupsi; dan (5) berteguh untuk membantu aparat penegak hukum dalam upaya pemberantasan korupsi.
Dalam usaha melembagakan gerakan pencegahan korupsi paling tidak ada tiga hal yang perlu dilakukan oleh kalangan civitas akademika perguruan tinggi.
Pelembagaan Pusat Studi Korupsi
Kesadaran terhadap bahaya perilaku korupsi telah mengundang perhatian serius bagi ilmuan dan pimpinan perguruan tinggi untuk ambil bagian dalam pencegahan perilaku korupsi. Mekanisme perguruan tinggi dalam berpartisipasi dalam proses pencegahan korupsi dengan pembentukan pusat studi korupsi. Di Universitas Brawijaya (UB) pembentukan Pusat Studi Korupsi berada tingkat universitas, sedangkan di Universitas Gadjah Mada (UGM) berada di tingkat fakultas. Terlepas dari perbedaan posisinya, namun satu hal yang pasti bahwa kehadiran pusat studi korupsi memberikan satu pemahaman bahwa perguruan tinggi memiliki pehatian terhadap persoalan bangsa dan negara (Unti Ludigdo dan La Ode Machdani Afala, 2020)
Salah satu fungsi pusat studi adalah melakukan kajian ilmiah dan mempublikasikan penemuan baru. Bahkan, pusat studi diharapkan menghasilkan lebih banyak laporan penelitian dan menjadikan produsen pengetahuan. Menempatkan pusat studi sebagai garda terdepan dalam memproduksi pengetahuan sangat dimungkinkan karena terdapat banyak orang-orang pintar, menjadi pusat kebebasan intelektual, sebagai lembaga yang mendorong untuk belajar, menemukan hal-hal baru serta memberikan kritik terhadap penyimpangan (M RusliKarim, 1985).
Kajian Robert Klitgaard menunjukkan bahwa sejumlah kampus di Benua Asia sudah lama memiliki perhatian dalam isu-isu korupsi. Sejak tahun 1970-an University of the Philipines melakukan penelitian tentang korupsi di negerinya.