Kreativitas Lokal Jenius Nusantara

Sabtu 06 May 2023 - 22:40 WIB
Reporter : Widhy Sumeks
Editor : Widhy Sumeks

  *Erwan: Songket Tak Lagi Istana/Keraton Sentris Kain Songket memiliki sejarah panjang. Ada cerita menarik di balik itu. Sejarawan serta budayawan Sumsel, Dr Erwan Suryanegara MSn mengungkap itu kepada koran ini, kemarin.

Katanya, kain songket itu awalnya semacam hadiah dari pedagang China ketika masuk ke wilayah Kerajaan Sriwijaya. “Jadi waktu itu sebagai cendera mata atau buah tangan. Istilah kasarnya ‘nyogok’. Tapi da cerita sudah sejak sebelum zaman Sriwijaya,” katanya.

Uniknya, kain yang masuk ke Kerajaan Sriwijaya tersebut mendorong lahirnya ide atau kreativitas warga lokal. “Jadi muncul kreativitas lokal jenius Nusantara. Masyarakat Nusantara orang yang kreatif. Jadi teknik menenun kain itu mereka tiru orang Sriwijaya, khususnya Palembang,” beber Erwan.

Lalu tersebar ke Padang, Riau, Kalimantan hingga Sulawesi. Di beberapa daerha itu banyak juga tenunan yang gunakan tekniknya songket, atau istilahnya dicukit. “Itu bukti masuknya zaman Sriwijaya,” paparnya.

Tiap motif songket punya makna. Misal songket dengan motif Kecubung. “Filosofinya, hidup itu harus berguna. Kecubung itu bambu muda. Sifatnya semua berguna. Mulai dari yang muda, batangnya, daunnya jadi pupuk dan segala macam manfaat lain,” jelas Erwan.

Lalu motif Tumpal. Biasanya, di tepi kain. Filosofinya, hidup menyatu dengan alam. Harmonis dengan alam. “Karena tumpal bermakna kosmologis,” ungkapnya.

Di dunia ada mikrokosmos, makrokosmos dan metakosmos. Mikrokosmos adalah diri kita. Makrokosmos adalah alam dan metakosmos itu adalah penguasa alam semesta. “Itu filosofi dari tumpal. Dalam motif motif prasejarah disebut tumpal segitiga .

Kemudian dia melihat ada pergeseran. Dulu, songket bersifat keraton sentries atau istana sentris. Artinya digunakan di lingkungan keluarga istana/keraton. “Karena masuk pertama lewat Sriwijaya. Sehingga songket bersifat istana setris. Sehingga simbol-simbolnya menjadi semacam pakem yang melambangkan keagungan, kekuasaan, dan keharmonisan,” jelasnya.

Dalam perkembangan hingga ke masa Kesultanan Palembang, songket mulai menjadi produk masyarakat. Artinya tidak diproduksi bukan semata untuk keratin/istana lagi. Tapi untuk bangsawan, masyarakat menengah hingga bawah. Lama-kelamaan setelah masa Indonesia merdeka, songket sudah untuk masyarakat umum.

“Songket tua banyak ditemukan di daerah ulu seperti Komering, Pagaralam dan Lubuklinggau. Menyebar di kalangan masyarakat biasa. Menjadi bukti songket tidak lagi istana/keraton sentris,” bebernya.

Sejak era Sriwijya, diduga kuat sudah ada daerah khusus yang menjadi tempat produksi songket. “Tanjung Batu dan Pedamaran salah satunya. Itu terlihat hingga saat ini,” papar Erwan. Di sana memproduksi sesuai pesanan masyarakat. Termasuk para pengrajin songket di Palembang.

Dengan digunakannya songket pada even internasional seperti SEA Games, Erwan menilai hal itu sangat baik sekali. “Kita mendorong pemasaran songket lebih jauh. Saran kita, pemerintah yang punya power dan kebijakan secara hukum, bisa melahirkan songket dengan konsep desain baru,” harapnya.

Kalau bisa seperti batik. Memasyarakat. Tidak hanya sebagai kain dan selendang. Tapi, bisa menjadi properti lain seperti tas, sepatu, ikat pinggang atau pun topi dan lainnya.

Dengan begitu, motif songket berkembang, tapi tidak meninggalkan nilai-nilai aslinya. “Sehingga bisa diterima secara luas dan melibatkan masyarakat banyak dalam memproduksi. Ini akan mendorong perekonomian,” tukas dia. (iol)

Tags :
Kategori :

Terkait