MATA AIR IDUL FITRI

  SUMATERAEKSPRES.ID - Idul Fitri telah di depan mata. Aroma kulit ketupat tercium dari rumah ke rumah. Opor, rendang, anam, malbi, dan berbagai penghias tudung saji lengkaplah sudah. Belum lagi ditambah dengan maksuba, kojo, engkak ketan, bolu lapis, dan lapan jam. Amboi, sempurna. Lalu bagaimana dengan rumah saudara-saudara kita? Rumah tetangga kita? Atau rumah orang-orang di kampung-kampung belakang kompleks kita? Rumah di sepanjang Sungai Musi? Tahun 2000 aku mendapat amanah mengurus salah satu madrasah ibtidaiyah yang usianya lebih dari satu abad. Bangunan sekolahnya berbanding lurus dengan usia madrasah tersebut, sama-sama renta. Kulihat guru-gurunya pun telah termakan usia. Penghasilan tak seberapa. Rumah banyak yang ngontrak pula. Ironisnya, mereka hepi-hepi saja. BACA JUGA : Setengah Lebaran Idul Fitri hari kedua, aku bergerilya, mengetuk satu pintu ke pintu berikutnya. Rumah guru-guru kami sambangi satu demi satu. Lebaran yang mengasyikkan sekaligus mengharukan. Ada banyak jiwa yang tak sebahagia kita. Di atap bedeng mereka, terjemur nasi kering. Katanya, itu adalah nasi bekas yang dibuang di tempat-tempat sampah dari beberapa resto. Mereka bawa ke sungai Musi. Mereka cuci, jemur, dan kukus. Lalu mereka makan dengan kecap sachet bersama keluarga. Hatiku bagai teriris. Dadaku pilu. Betapa banyak saudara kita yang perutnya "tak seaman" kita.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan