https://sumateraekspres.bacakoran.co/

Memacu Ekonomi Lokal dengan Hilirisasi Industri Kopi, Angkat Brand Kopi Sumsel

--

SUMSEL, SUMATERAEKSPRES.ID - Kontribusi industri pengolahan sangat besar bagi perekonomian Tanah Air. Berdasarkan Harga Konstan 2010, industri ini masih menjadi penopang nomor 1 dengan raihan Rp667,6 triliun atau 19,02 persen dari PDB RI Triwulan III 2024 Rp3.279,6 triliun. Namun di Provinsi Sumsel kontribusinya nomor 2 setelah sektor pertambangan dan penggalian, atau Rp17,14 triliiun (17,64 persen) dari PDRB Sumsel Rp97,41 triliun.  

Sebenarnya, sektor industri pengolahan punya peluang mendorong perekonomian Sumsel lebih besar, bahkan melampui sektor tambang yang sokongannya 25,94 persen mengingat provinsi ini kaya SDA (sumber daya alam), khususnya komoditas pertanian dan perkebunan. Tapi sayang, nyatanya hilirisasi industri di Sumsel belum maksimal. 

Empat komoditi unggulan lebih banyak dikirim ke luar provinsi atau diekspor ke luar negeri (LN) dalam bentuk mentah, seperti karet (crumb rubber), sawit (crude palm oil), kelapa (kelapa bulat), dan kopi (biji kopi/green bean). Bahkan kopi yang produksinya nomor 3 pada tanaman perkebunan Sumsel dan nomor 1 di Indonesia, rata-rata langsung dibawa ke Lampung usai panen untuk diolah menjadi bubuk kopi. 

Petani Sumsel beralasan permintaan dari provinsi tetangga lebih besar karena ada industri hilir produk kopi (pabrik kopi besar) yang menyerap biji kopi. Sementara di Sumsel, mayoritas masih skala industri kecil atau rumahan (UMKM). Salah satu basis produksi kopi Sumsel, Kecamatan Semende Darat Laut (SDL), Muara Enim. Menurut Kepala Desa Pulau Panggung, Maman Bagus Purba, saat musim panen kopi, setiap Minggu ada 3-4 truk masuk Pulau Panggung. Mereka pengepul yang membeli partaian hasil panen biji kopi petani. 

BACA JUGA:Kecamatan Kertapati,. Sejarah Panjang dan Perkembangan Ekonomi Kota Palembang

BACA JUGA:Chatib Basri Soroti Keseimbangan UMP dan Daya Beli dalam Ekonomi Indonesia

“Setiap truk membawa sekitar 9 ton biji kopi Semende ke Pelabuhan Panjang, Bandar Lampung untuk diekspor ke berbagai negara. Di sana banyak gudang-gudang atau pabrik kopi nasional,” ujar Maman. Yang dibawa ke daerah Sumsel ada, baik berbentuk biji atau bubuk kopi ke Kota Palembang dan Tanjung Raja OI namun memang skala kecil. Bagi petani, menjual biji kopi mentah lebih praktis ketimbang bubuk kopi atau kopi kemasan. 

Mengolah kopi menjadi bubuk kopi juga butuh biaya produksi, waktu, dan peralatan mulai dari oven (pengering) buah kopi, pengupas biji, mesin sortasi, mesin sangrai (roaster), dan sebagainya. Apalagi saat ini harga biji kopi kering Robusta mahal mencapai Rp50-60 ribu per kg. “Ini yang mungkin membuat brand kopi lokal tidak terangkat, rata-rata petani kopi menjual mentah. Di desa lain juga begitu,” tuturnya. Sehingga kopi Sumsel kurang populer, meski provinsi ini penghasil kopi terbesar di Indonesia. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi kopi Sumsel tahun 2023 mencapai 198 ribu ton atau 26,05 persen dari total produksi nasional 760,2 ribu ton. Baru menyusul Lampung 108,1 ribu ton, Sumatera Utara 87,9 ribu ton, dan Aceh 71,1 ribu ton. Sumsel juga memiliki lahan kopi terluas mencapai 267.025 hektar dari total luas lahan kopi Indonesia sekitar 1.268.009 hektar. 

Hanya saja di Indonesia dan pasar dunia, beberapa produk kopi yang populer justru berasal dari daerah penghasil lain, seperti kopi Gayo (Aceh), Mandailing (Sumatera Utara), Liberika (Riau), Robusta (Lampung), atau Kintamani (Bali), tidak demikian dengan Sumsel. 

BACA JUGA:BULOG Sumsel dan Babel Salurkan 626.259 Paket Beras, Strategi Efektif Kurangi Beban Ekonomi Masyarakat

BACA JUGA:Seberang Ulu 2: Warisan Budaya Kampung Al-Munawar dan Potensi Ekonomi di Tepi Sungai Musi

Padahal Sumsel juga punya beberapa nama kopi berdasarkan sentra produksinya, seperti kopi Semende (Muara Enim), Dempo (Pagaralam), Besemah (Lahat), Ranau (OKU Selatan), dan Selangit (Empat Lawang). “Beruntungnya kopi Robusta Semende sudah mengantongi hak paten atau Sertifikat Indikasi Geografi (SIG) sehingga bisa disejajarkan dengan kopi terkenal lainnya,” terang Maman. 

Tinggal bagaimana mempopulerkan nama atau brand kopi Semende ke kancah nasional-internasional. “Tentu ini akan berbeda jika Sumsel memiliki pabrik kopi skala besar. Selain memberi nilai tambah (value added) juga mengangkat nama kopi Semende,” imbuhnya. Yang ada saat ini baru skala UMKM atau home industry kopi, tapi jumlahnya pun sedikit. Contoh di SDL, ada namanya Tengkiang Kopi dan Tunggu Tubang yang memproduksi bubuk kopi Semende dan kopi kemasan atau siap saji. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan