Bisnis Pakaian Bekas Terancam

*KemenkopUKM Usul Larang Thrifting

*Pedagang-Pembali Kompak Menolak

PALEMBANG -  Bisnis jual beli pakaian impor bekas alias BJ (thrifting, red) terancam. Kementerian Koperasi dan UKM mengusulkan adanya aturan yang melarang praktik itu guna mendukung dan melindungi produk lokal atau UMKM.

Sebelumnya, sudah ada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 18 Tahun 2021. dalam pasal 2 ayat 3 tercantum larangan mengimpor kantong, karung, dan pakaian bekas. Tapi, tren bisnis thrifting ini tak pernah surut. Baju, celana hingga sepatu impor bekas terus saja masuk Palembang dari  Batam, Belawan, dan Jambi. Masih digemari karena harganya murah, tapi berkualitas. Adanya larangan jual beli pakaian impor bekas ini sudah didengar para pedagang baju bekas (BJ) di Pasar 16 dan bawah Jembatan Ampera.

Penolakan pun kompak disuarakan mereka."Ya jelas kami menolak kalau itu diterapkan. Inilah mata pencarian kita untuk mencari sesuap nasi," ujar Zakaria, pedagang BJ di bawah Jembatan Ampera, kemarin (5/3).

Dikatakannya, dengan berjualan BJ sejak 1990an, dia setidaknya mampu menghidupi keluarganya. Selain memenuhi kebutuhan sehari-hari, juga menyekolahkan anaknya. “Kalau dilarang, kami mau dapat penghasilan dari mana,” cetus dia.

BACA JUGA : Waktu Mustajab untuk Berdoa dan Penjelasannya BACA JUGA : Ini dia Pengertian, Fungsi, dan Manfaat dari Teknologi Ramah Lingkungan

Sementara penghasilan dari dagang BJ selama ini juga tidak besar. Per hari paling Rp50-100 ribu. “Kadang juga sepi, sama sekali tidak ada yang terjual,” bebernya. Farida, ibu dua anak mengaku berjualan BJ di bawah Ampera sejak tahun 2000.

Dia mengaku keberatan apabila pemerintah memberlakukan larangan berjualan pakaian bekas. "Kalau jual BJ ini juga dilarang, mau kemana lagi kami mencari uang untuk hidup,” keluhnya. Meski pas-pasan, tapi setidaknya dengan berjualan pakaian impor bekas, dia mampu menghidupi keluarganya.

Dia bahkan jadi tulang punggung keluarga.  Tak hanya dia dan para pedagang BJ lain yang bakal kesulitan dengan aturan ini. Masyarakat ekonomi lemah yang selama ini jadi pembeli juga bakal terimbas.

Harapannya, pemerintah bisa membatalkan larangan itu. "Hidup sedang susah sekarang. Janganlah pemerintah keluarkan aturan yang makin menyusahkan kami rakyat kecil,” cetus Farida.

Dewi, pedagang pakaian BJ lainnya mengakui, masyarakat kalangan bawah merupakan “pelanggan” baju, celana hingga sepatu impor bekas yang secara harga memang murah. Baju dibandrol  Rp15-20  ribu, celana pendek Rp25 ribu, dan baju perempuan Rp30 ribu. Untuk kemeja Rp40-50 ribu. "Saya bisa dapat keuntungan Rp50-100 ribu sehari," kata dia.

Dia dapatkan pakaian BJ itu dari bosnya. Dapat kabar kalau bisnis ini dilarang, dia tentu sangat tidak setuju. “Sama saja pemerintah berusaha mematikan mata pencaharian kami,” imbuhnya.

Terpisah, Ujang pedagang pakaian bekas menambahkan, saat ini mereka makin sulit mendapatkan stok barang impor itu. Sementara untuk peminat masih banyak. Tak hanya dari kalangan masyarakat biasa, tapi juga PNS dan pegawai kantoran.  “Karena banyak yang bagus-bagus. Kita pilah, nanti secara harga tentu beda. Tapi tak semahal yang baru,” bebernya.

BACA JUGA : Daftar Pejabat Kemenkeu Rangkap Jabatan, Banyak jadi Bos BUMN

Katanya, masyarakat yang beli pakaian BJ bukannya bukan dengan senang hati. Tapi terpaksa. Secara finansial, mereka tidak punya kemampuan beli pakaian baru yang harganya jauh lebih mahal. “Tiap orang pastilah mau beli yang baru. Tapi daya beli turun,” cetusnya.

Harusnya pemerintah bisa melihat kondisi ini dengan jelas. Sehingga melahirkan aturan dan kebijakan yang pas. "Semua serba mahal. Cari pekerjaan makin sulit. Jangan matikan mata pencarian kami dari berjualan pakaian BJ ini,” tegasnya.

Pantauan di gedung Pasar 16 Ilir, makin sedikit pedagang yang jualan pakaian bekas. Terutama lantai-lantai atas terlihat kosong. Tak ada lagi yang berjualan. “Sudah susah sekarang dapat BJ. Sering tidak kebagian. Lagi pula sudah mahal,” kata seorang pedagang di sana.

Satu bal besar pakaian impor bekas dibandrol jutaan rupiah. Isinya ratusan lembar pakaian. Tergantung jenisnya. Ada dress, baju anak, kaos, celana dasar, jeans, hoodie atau jaket, dan lainnya.

Masyarakat yang selama ini jadi konsumen pakaian impor bekas juga angkat bicara.  “Kalau bisa jangan lah. Kami tidak sanggup beli baju baru yan mahal. Di BJ inilah bisa dapat pakaian agak bagus, tapi murah,” kata Diah, ibu rumah tangga, warga Sukarami.

Suaminya bahkan juga sering beli celana-celana impor yang kondisinya masih bagus. Dipakai untuk kerja. Menurutnya, selama ini tidak ada dampak dari penggunakan pakaian impor bekas yang dibelinya. “Tapi memang sebelum dicuci bersih, direndam air panas dulu. Aman-aman saja setelah dipakai,” beber dia.

Belakangan, thrifting menjadi salah satu bisnis yang digandrungi anak-anak muda. Dengan modal yang tidak terlalu besar, namun omzet yang dihasilkan dari penjualan pakaian impor bekas ini bisa sampai puluhan juta rupiah.

Terpisah, Kepala Dinas Perdagangan Palembang, Raimon Lauri, mengatakan, untuk saat ini dari pihaknya belum melakukan tindakan. Sebab, itu masih dibahas di tingkat pusat. "Kami menunggu instruksi dan juga aturan tertulisnya, mungkin surat edaran atau lainnya sebagai payung hukum," kata dia.

Biasanya, jika memang sudah resmi, aka nada edaran dari pemerintah pusat ke daerah. Diungkap Raimon, penjualan pakaian impor bekas ini ada di Pasar 16 Ilir yang beroperasi setiap hari. Juga di kawasan Pasar Lemabang dan Pasar Cinde (biasanya setiap Sabtu-Minggu).

"Dengan perkembangan teknologi sekarang, banyak juga yang jualan lewat online shop atau media sosial lain,"  kata bebernya. Untuk itu, perlu aturan yang rinci. Pada akhirnya, pilihan ada di tangan masyarakat sebagai pembeli.

“Mana barang yang baik dan kurang baik, bisa dipikirkan. Larangan ini karena ditakutkan pakaian bekas membawa penyakit," tandas Raimon. Kepala Dinas Koperasi dan UKM Sumsel, Ir H Amiruddin MSi mengatakan, pelarangan thhrifting tidak bisa dilakukan secara serta merta.

Tapi harus diimbau secara persuasif. “Ini pilihan. Di satu sisi produsen merasa dirugikan, sisi lain konsumen diuntungkan. Mendapatkan kualitas yang baik dengan harga yang murah,” kata dia.

Kata Amiruddin, pedagang pakaian impor bekas juga termasuk pelaku UMKM. Beda dengan produsennya yang masuk kategori pedagang besar. “Sekarang yang mana harus kita lindungi. Melarang para pedagang pakaian impor bekas yang jumlahnya banyak dan merupakan  pelaku UMKM, atau  segelintir produsen? Kalau mau larang, sekalian saja barang-barang fashion impor (branded),” bebernya.

Sebelumnya, Deputi Bidang UKM KemenkopUKM, Hanung Harimba, mengungkapkan, usulan  pelarangan praktik thrifting ini tercetus karena kekhawatiran jika masyarakat Indonesia lebih menyukai produk impor dengan harga miring ketimbang produk dalam negeri.

Wacana pelarangan jual-beli baju impor juga telah diutarakan Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan (Zulhas). Kata dia, sebenarnya pemerintah tidak melarang menjual barang bekas. Yang dilarang adalah mengimpor pakaian bekas ke Indonesia.

Ada pun sanksi yang akan diterima bagi para pedagang atau pengusaha yang menjual baju bekas impor adalah pemusnahan barang. Bisa juga menghentikan usaha perdagangan yang sedang dijalani, dan tentu saja pencabutan izin perdagangannya.

Masuknya berton-ton pakaian impor bekas tersebut secara tidak langsung membuat Indonesia menjadi “tempat pembuangan” limbah tekstil. Jika bahannya terbuat dari polyester atau lycra, membutuhkan waktu setidaknya 20-200 tahun untuk terurai.

Daru Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KemenLHK), pada 2021 tercatat sampah kain di Indonesia mencapai 2.633 ton dari 29 juta ton sampah. Pertengahan 2022 lalu, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menusnahkan pakaian besar senilai Rp9 miliar.

"Ada sekitar 750 bal. Kira-kira kalau (pakaian) bekas ini nilainya Rp8,5 sampai Rp9 miliar," kata dia. Selain alasan saingi produk dalam negeri, masalah kesehatan mengintai masyarakat yang gemar memakai pakaian bekas. (yud/nswtin/yun)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan