GSP Optimis Prabowo-Gibran Menang di Pilpres Sekali Putaran, Ini Alasannya
Prabowo Subianto, capres nomor urut 2 dari partai Gerindra. -Foto: akun instagram @prabowo-
JAKARTA, SUMATERAEKSPRES.ID - Gerakan Sekali Putaran (GSP) dengan tegas menyatakan dukungan mereka terhadap ide Pilpres 2024 dalam satu putaran. GSP, yang merupakan kelompok pendukung Jokowi, secara aktif mempromosikan ide ini di seluruh Indonesia.
M. Qodari, Ketua Umum GSP, menjelaskan tiga argumen utama yang mendasari gerakan ini.
Menurutnya, keputusan GSP didasarkan pada argumen-argumen yang kuat, termasuk efisiensi waktu, efektivitas biaya, dan potensi keamanan politik.
"Pertama, hemat waktu. Pilpres sekali putaran menghemat waktu karena presiden dan wakil presiden terpilih sudah diketahui pada Februari 2024 dan tidak perlu menunggu sampai Juni 2024," ujar M. Qodari dalam keterangannya, Senin 18 Desember 2023.
BACA JUGA:Prabowo Ajak JSI Babel Jaga Persatuan dan Kerukunan Bangsa dalam Acara Doa dan Zikir Akhir Tahun
"Dengan terpilihnya presiden dan wakil presiden baru, para pengambil keputusan dan pelaku ekonomi sudah memiliki kepastian politik dari Februari 2024. Semua rencana kegiatan dan investasi ekonomi, misalnya, dapat segera diputuskan dan dilaksanakan," tambahnya.
Kedua, Qodari menyoroti bahwa pilpres sekali putaran dapat menghemat biaya anggaran negara.
Sebab, jika ada putaran kedua, akan dibutuhkan tambahan anggaran sekitar Rp 17 triliun.
"Dengan menyelesaikan pemilihan dalam satu putaran, anggaran ini dapat dikembalikan ke kas negara dan digunakan untuk kepentingan rakyat atau dialokasikan untuk program pemerintah lainnya seperti subsidi pupuk, subsidi rumah, subsidi transisi energi hijau, dan bantuan pangan dan tunai yang bersifat ad hoc, atau dialokasikan untuk APBN tahun berikutnya," jelasnya.
BACA JUGA:Langkah Tegas Prabowo, Kader Gerindra Diminta Rangkul Rakyat dengan Gaya Grassroot
Terakhir, Qodari menilai bahwa pilpres sekali putaran akan lebih damai dibandingkan dengan dua putaran, menghindari potensi polarisasi ekstrem seperti yang terjadi pada Pilpres 2014, 2019, dan Pilkada DKI Jakarta tahun 2017.
“Pilpres sekali putaran lebih damai karena polarisasi ekstrim seperti Pilpres 2014 dan 2019 serta Pilkada Jakarta 2017 berpotensi lahir kembali pada putaran kedua di saat paslon yang bertarung tinggal 2. Polarisasi ekstrim pada saat ini belum terlalu muncul karena paslon masih ada 3,” urainya.
“Namun kondisi akan berubah cepat pada putaran kedua karena akan tercipta kondisi head to head, zero sum game di antara dua kandidat tersisa.
Isu-isu primordial seperti ras dan agama akan muncul dan menimbulkan ketegangan yang bahkan mungkin lebih buruk dibanding pilpres 2014 dan 2019,” tambah Qodari.