Perjuangan Diana Cristiana Menembus Pedalaman Atti, Wujudkan Mimpi Sekolah Anak-Anak Papua

MENGAJAR : Guru penggerak, Diana Cristiana Da Costa Ati memberikan pembelajaran kepada siswa SD Negeri Atti di Kampung Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua Selatan. Foto : Diana for Sumateraekspres.id --

SUMATERAEKSPRES.ID – Suatu pagi pada tahun 2021, di belakang SD Negeri Atti di Kampung Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua Selatan, Diana Cristiana Da Costa Ati melihat anak muridnya, San Piter dan adik-adiknya sedang mengganti baju seragam sekolah bersama-sama. Ia kaget mengapa mereka tak memakainya dari rumah.

 

Perempuan asal Atambua, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) itu pun menghampirinya. “Kamu ganti baju kok di sini, kenapa tidak di rumah,” tanya guru penggerak daerah terpencil SDN Atti ini. San Piter pun bilang bahwa mereka baru saja dari hutan pedalaman.

 

“Jadi selama ini kamu tinggal di hutan?” tanya Diana lagi.

 

“Iya bu, kami tinggal di hutan bersama orang tua,” ujar San Piter.

 

Spontan saat itu Diana menangis, memeluk San Piter, dan adik-adiknya. “Aduh, ibu tidak tahu kamu tinggal di hutan selama ini,” lanjut Diana yang mengaku baru tahu setelah satu tahun berselang di sekolah. Ia terharu melihat perjuangan dan semangat San Piter beserta adik-adiknya ke Kampung Atti.

 

“Mereka itu tinggalnya sangat jauh di hutan. Kalau orang-orang Papua bilang jauh berarti kita pendatang tidak mampu menjangkaunya dengan berjalan kaki. Tapi kalau mereka bilang dekat, berarti bagi kita itu sudah sangat jauh untuk ditempuh,” cerita Diana.

 

Tapi ia tak bisa mengukurnya seberapa kilometer, jika naik perahu mungkin habis sekitar 2-3 liter bensin ke hutan mereka tinggal. “Sebelum proses belajar mengajar dimulai pukul 08.00 WIT, San Piter dan 4 adiknya berangkat pagi-pagi dari hutan setelah fajar menyingsing. Di perjalanan, mereka sangat tergantung dengan matahari karena di hutan tak ada penerangan atau listrik sama sekali,” tutur perempuan kelahiran 12 Februari 1996 ini.

 

Kemudian muridnya itu harus berenang menyeberang sungai, jadi baju sekolahnya mereka letakkan ke dalam kantong supaya tidak basah. “Dari hutan mereka memakai baju biasa, makanya pas di belakang gedung SD saya lihat San Piter dan adiknya ganti seragam,” imbuhnya. Walau jauh di pedalaman hutan, mereka tak pernah telat masuk sekolah. Memang jalan mereka cepat sih.

 


Diana bersama anak didiknya, San Piter (baju orens tengah) dan mereka yang tinggal di hutan Kampung Atti. Foto : Diana for Sumateraekspres.id--

 

Sebenarnya Diana sempat heran, mengapa San Piter dan adiknya selalu menitipkan bukunya setiap pulang sekolah. “Tapi waktu itu saya pikir di rumah mereka ada apa-apa, ternyata biar bukunya tidak basah. Kalau seragam bisa dibawa pulang,” bebernya. Mereka tak bisa menetap di Kampung Atti, sebab siapa yang akan memberi makan. Makanya San Piter tetap ikut orang tuanya tinggal di hutan.

 

Walau begitu, orang tua San Piter tak pernah melarang anak-anaknya pergi ke sekolah. “Malah mereka sangat mendukung, jadi orang tuanya tidak bilang karena jauh tidak boleh sekolah. Orang tuanya tetap men-support dia,” lanjutnya.

 

Bagi orang Papua, hutan itu tempat mencari makan seperti memanggur sagu, memancing ikan, dan lainnya. Mereka tidak bertanam di kampung, sagu sebagai bahan pokok tidak ada di perkarangan rumah. Orang-orang Kampung Atti pun mencari makanan ke hutan. “Di sini tidak ada pasar tradisional atau barter bahan-bahan pokok. Makanya anak-anak sepulang sekolah suka bantu orang tua mencari makanan pada siang dan sore hari, seperti San Piter,” tuturnya.

 

Dari Program Guru Penggerak Daerah Terpencil

 

Ayah Diana Cristiana Da Costa Ati sebenarnya orang asli Timor Leste (Timor Timur), tapi ia berkewarganegaraan Indonesia sejak kecil. Bersama ibunya, Diana menghabiskan masa kecilnya di Kota Atambua, Kabupaten Belu, Provinsi NTT. Menginjak kuliah, ia menempuh pendidikan di Universitas Nusa Cendana, Kupang, Provinsi NTT, dan memilih Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN).

 

Ia berniat sekali menjadi guru dan mengabdikan diri untuk pendidikan bagi anak-anak. Makanya usai lulus tahun 2017, Diana ingin langsung mengajar di sekolah dan pilihannya tak biasa. Ia mau pergi ke pedalaman Papua. “Kebetulan waktu itu saya memang mau ke Papua, tapi tidak tahu jalurnya darimana,” ungkap perempuan berdarah blasteran Timor Leste dan Atambua ini.

 

Karena sebelumnya ia mendapat cerita pengalaman mengajar di Kabupaten Raja Empat, Provinsi Papua Barat Daya dari seorang senior di kampus. Seniornya itu alumni program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) dari Kemendikbudristek. “Ia mengajar kurang lebih satu tahun di sekolah Raja Empat, lalu pulang dan cerita sama saya,” katanya.

 

Diana pun terinspiransi ingin ke pulau paling ujung timur Indonesia itu, karena ia melihat Papua betul-betul sangat membutuhkan guru terutama yang berada di pelosok kampung. “Saya lebih cenderung berpikirnya ke sana, kebetulan saya juga orang Indonesia Timur dan saya ingin sekali mengabdi untuk Indonesia Timur lebih baik lagi,” terangnya.

 

Di tahun itu juga, ia melihat akun resmi Gugus Tugas Papua (GTP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Ternyata di sana sedang ada program Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) yang digagas Bupati Mappi periode 2017-2022, Kritosimus Yohanes Agawemu bekerja sama dengan GTP UGM Yogyakarta. Program ini merekrut guru-guru muda yang mau mengabdi ke pedalaman Mappi. Tanpa listrik dan sinyal selular. 

 

“Nah kebetulan saya mau sekali ke Papua. Saya langsung mendaftarkan diri ke program GPDT dan Puji Tuhan saya lulus dan sampailah di pedalaman Atti ini,” imbuhnya. Sebenarnya, lanjut Diana, ada ribuan calon guru se-Indonesia yang ikut mendaftar, tapi yang dinyatakan lulus gelombang 1-4 itu sekitar 400 guru penggerak. Jadi sewaktu berangkat ke Papua, ia tak sendirian. Ada banyak rombongan guru dari Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, termasuk pula NTT dimana ia tinggal.

 

“Ibu tak keberatan saya merantau, maka saya berangkat bersama beberapa teman dari NTT menuju Merauke, Provinsi Papua Selatan,” tuturnya. Setiba di Merauke, para guru penggerak yang lulus seleksi dibina terlebih dahulu sekitar 1 bulan oleh Pemda, TNI, dan stakeholer terkait.

 

Ada semacam workshop, pembinaan mental, dan sebagainya karena jangan sampai nanti para guru tidak betah, tidak sanggup, lalu mundur mengajar di SD pedalaman. Apalagi keadaan alam Mappi ini notebene-nya sangat ekstrim, 90 persen daerahnya menggunakan transportasi air. Setelah itu, baru semua guru penggerak disebar ke pedalaman-pedalaman Mappi, tidak ada yang ditempatkan di kota.

 

“Saya bersama dua orang teman, Oktovianus Halla dan Fransiska Bere ditempatkan di SDN Atti,” sebutnya. Ternyata secara geografis, ke Kampung Atti itu sangat rumit medannya. Dari Merauke mereka diantar ke Kota Kepi, Kabupaten Mappi. Lalu dari Kepi menuju Pelabuhan Agham menggunakan jalan darat sekitar 1 jam. “Dari Pelabuhan Agham kami naik perahu ketinting menuju Kampung Khaumi, Distrik Minyamur sekitar 4 jam perjalanan pada musim kering dan 2 jam perjalanan saat musim hujan,” rincinya.

 

Sebelum ke Khaumi, kata Diana, semua logistik makanan sudah harus siap hingga 6 bulan ke depan. “Karena di pedalaman mau makan apa, tidak ada pasar tradisional atau orang jualan. Warga kampung mencari makan ke hutan, jadi saat berangkat biasanya kami siapkan stok makanan (sembako), belinya di Kepi,” paparnya.

 

Jika berangkat Januari, ia dan dua temannya menyiapkan bahan pokok hingga Juni. Lalu beli lagi ke Kepi, untuk persediaan Juli sampai Desember. “Makanannya kami beli ke pasar dengan uang sendiri. Kami harus mandiri, karena kami sudah komitmen mengabdi, menjalankan misi kemanusiaan,” ungkapnya. Apalagi para guru juga sudah dikontrak daerah dan digaji Pemda Rp4 juta per bulan.

 

Perjalanan dengan perahu ketinting menyusuri sungai-sungai kecil sampai Khaumi. Setiba di kampung itu, rombongan guru penggerak berpencar ke lokasi penugasan masing-masing. “Kami ke pedalaman Atti, masih harus berjalan kaki selama 2 jam menyusuri hutan belantara yang tidak ada satupun rumah di sana,” ujarnya. Awal-awal berangkat diantar Pemda berombongan, sekarang pergi sendiri-sendiri.

 


Diana Cristiana (jaket hitam) dan rekannya naik perahu ketinting menuju Kampung Atti, Distrik Minyamur. Foto : Diana for Sumateraekspres.id--

 

Kadang ada rasa takut, apalagi jika hari menjelang malam tanpa penerangan. Binatang buas seperti ular atau buaya sudah pasti ada di sungai atau hutan. “Namun saya percaya dengan prinsip, kalau kita berbuat sesuatu dengan niat yang baik, saya pikir Tuhan memberkati dan alam merestui,” ungkapnya.

 

Dari Tak Bisa Nyanyikan Lagu Indonesia Raya, Kini Sudah Pintar Membaca

 

Kedatangan Diana dan 2 temannya ke Kampung Atti membawa pelita kehidupan. Orang-orang Papua di sana senang sekali anak-anaknya bisa bersekolah di SDN Atti yang lama terbengkalai. Mereka bilang, ada bapak-ibu guru dari seberang.

 

“Waktu kami datang ke sini pertama kali, sudah ada bangunan SDN Atti dengan 3 ruang belajar. Tapi tidak aktif, meski secara administratif ada gurunya,” kata Diana. Mungkin karena Kabupaten Mappi kekurangan guru mengisi sekolah-sekolah pedalaman sehingga banyak tak jalan. “Kedatangan kami mengaktifkan kembali proses belajar mengajar supaya anak-anak bisa bersekolah,” tuturnya.

 

Suatu saat di hari pertama sekolah, Diana menangis ketika bertanya kepada para siswanya. Mereka tak bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya, mereka tak hafal Pancasila, mereka juga belum bisa menulis dan membaca. Karena selama ini memang tak ada guru yang memberikan pembelajaran. Akhirnya mereka jadi putus sekolah.

 

Padahal semangat anak-anak Papua luar biasa mau menempuh pendidikan. Ingat cerita San Piter yang berangkat sekolah dari hutan, berjalan kaki belasan kilometer, menyelam sungai sampai SDN Atti. “Saat ini ada 80 siswa SDN Atti, dari kelas 1 hingga kelas 6. Masuk sekolah jam 8 pagi, pulangnya jam 12 siang. Ada yang berseragam sekolah, ada yang tidak,” ungkapnya.

 

Di kelas, Diana menggunakan kurikulum sendiri, tidak mengikuti acuan Kurikulum Nasional. Targetnya calistung (baca, tulis, hitung).

 

Sebenarnya kontrak Diana dan rekannya sebagai guru penggerak itu awalnya 2 tahun, tapi berhubung Pemda Mappi melihat ada perubahan, maka program GPDT terus berlanjut dan kontrak diperpanjang. “Hingga kini sudah 5 tahun berjalan, kami tak pernah lelah dan bosan meski berada di daerah 3T,” tegasnya.

 

Apalagi sejak kehadirannya memberi banyak sekali manfaat bagi anak-anak Kampung Atti. Mereka yang dulunya buta huruf, kini bisa membaca, menulis, berhitung. Mereka tahu Bendara Merah Putih, bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya, melafalkan Pancasila. Dan mereka merangkai cita-cita, harapan, mimpi yang besar, ingin menjadi orang-orang hebat.

 

“Sekarang mungkin sudah ada sekitar 30 siswa SDN Atti yang lulus melanjutkan pendidikan SMP ke Kota Kepi. Seperti San Piter yang dulu masih kelas 6 SD, sekarang sudah kelas 2 SMP,” cetusnya.  

 

Ke depan, Diana berharap sekali, supaya program ini terus berkelanjutan dan anak-anak Papua di pedalaman tetap mendapat pendidikan, Kemendikbudristek bisa mem-backup program GPDT. Pemda dengan anggaran yang terbatas telah mengeluarkan begitu banyak dana untuk menjalankan program merekrut guru-guru penggerak yang mau ke pedalaman. “Ini sangat luar biasa,” ungkapnya.

 

Akhirnya berkat kepedulian Diana Cristiana Da Costa Ati terhadap pendidikan anak-anak Papua pedalaman, PT Astra International Tbk pun memberikan apresiasi dan penghargaan “14th SATU Indonesia Awards 2023” Bidang Pendidikan kepada Diana Cristiana atas dedikasi dan pengabdiannya yang setulus hati menjadi guru penggerak daerah terpencil di SDN Atti, Kampung Atti, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua Selatan. (fad)

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan