Asrama Mahasiswa Sumsel Dijual Oknum Mafia. Jaksa Tetapkan 5 Tersangka, Tapi Hanya Tersisa 3. Kok Bisa?
Kajati Sumsel sampaikan penetapan 5 tersangka dalam perkara penjualan aset asrama mahasiswa Sumsel di Yogyakarta--
PALEMBANG,SUMATERAEKSPRES.ID – Lima orang jadi tersangka dalam kasus penjualan aset Yayasan Batanghari Sembilan berupa Asrama Mahasiswa Sumsel di Yogyakarta.
Adanya penetapan kelima tersangka ini disampaikan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumsel, Sarjono Turin SH MH disela-sela pers gathering, Senin (30/10).
"Setelah cukup bukti, dalam penyidikan perkara penjualan aset Asrama Mahasiswa Sumsel, penyidik Pidsus akhirnya menetapkan sebanyak 5 tersangka," kata Sarjono di hadapan awak media.
Kajati yang dipromosikan menjadi Sekretaris JAM Intelijen Kejagung RI itu membeberkan kalau kelima tersangka dianggap sebagai aktor intelektual dibalik penjualan aset asrama mahasiswa Sumsel di Yogyakarta.
Hanya saja, dua dari lima orang tersangka itu telah meninggal dunia. Mereka, almarhum AS dan MR. Sementara, tiga tersangka lainnya yakni ZT, EM dan DK.
“Tiga nama terakhir ini sebelumnya telah dipanggil dan diperiksa sebagai saksi dalam perkara ini,” jelasnya. Total, sudah sudah 46 orang yang jalani pemeriksaan oleh penyidik Pidsus Kejati Sumsel.
Penyidik setelah melakukan pendalaman kasus akhirnya mendapatkan bukti keterlibatan para tersangka dalam perkara dugaan korupsi penjualan aset asrama mahasiswa Sumsel itu.
Namun, untuk nilai kerugian negara dalam kasus asrama mahasiswa yang telah didirikan sejak tahun 1950-an itu masih dalam penghitungan lebih lanjut.
Penyidik Pidsus Kejati Sumsel masih terus mendalami alat bukti terkait dengan keterlibatan pihak lain dalam perkara ini.
Jika didapatkan bukti kuat, mereka tentu akan dapat dijerat juga untuk bertanggung jawab terhadap penjualan asrama mahasiswa Sumsel ini.
Untuk ketiga tersangka, penyidik akan menjerat mereka dengan pasal berlapis. Primair Pasal 2 Ayat (1) atau Subsider Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Sedangkan untuk dua tersangka yang sudah meninggal, tentu proses hukum terhadap mereka tidak bisa dilanjutkan.
Penyidikan perkara ini bermula dari adanya sengketa tanah dan bangunan asrama mahasiswa Sumsel yang terletak di Jalan Puntodewi nomor 9 Wirobrojan Jogjakarta. Perebutan itu terjadi sejak 2015.
Dilansir dari akun media sosial @pondok_mesudji, asrama Pondok Mesudji ini telah dibangun pada tahun 1952.
Dibangunnya asrama Pondok Mesudji bertujuan sebagai rumah singgah sementara bagi mahasiswa asal Sumsel yang sedang menimba ilmu pada beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta.
Pendirian bangunan asrama Pondok Mesudji ini dibawah naungan Yayasan Pendidikan Batanghari Sembilan. Seiring waktu, pada 2015 lalu ada oknum mafia tanah telah memalsukan dokumen yayasan serta sertifikat.
Diduga ada pembuatan dokumen dan sertifikat palsu yang berujung terjualnya aset tanah serta bangunan asrama mahasiswa Sumsel tersebut. Berbagai upaya hukum dilakukan.
Terjadi saling klaim antara pengurus Yayasan dengan pihak lain terhadap status kepemilikan tanah dan bangunan asrama Pondok Mesudji itu.
Selain upaya hukum, berbagai cara telah dilakukan oleh mahasiswa, alumni dan warga Sumsel yang tinggal di Yogyakarta.
Mulai dari unjuk rasa hingga audiensi ke DPRD Provinsi Sumsel. Mereka menuntut untuk mempertahankan asrama Pondok Mesudji sebagai asrama masyarakat Sumsel.
Kemudian minta kepada pihak yang terkait agar asrama Pondok Mesudji hanya untuk kepentingan pendidikan, bukan untuk dijual.
Informasinya, tanah dan bangunan asrama Pondok Mesudji tersebut telah dijual oleh oknum mafia tanah kepada salah satu organisasi Muhammadiyah Jogjakarta.
Pada 2020, sebelum adanya gugatan hukum, asrama Pondok Mesudji sempat dirusak sejumlah oknum. Kondisi asrama itu tidak terawat. Banyak bagian bangunan yang rusak. Semak belukar mewarnai sisi luar bangunan.(*/nsw)