Ekspedisi Angkat Brand Kopi

Setiap minggu saat musim panen kopi, ada 3-4 truk masuk Desa Pulau Panggung, Kecamatan Semende Darat Laut (SDL), Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumsel. Mereka para pengepul yang membeli partaian hasil panen biji kopi petani desa, setiap truk bisa mengangkut hingga 9 ton.

“TRUK-truk itu membawa kopi Semende ke Pelabuhan Panjang, Bandar Lampung untuk diekspor ke berbagai negara. Makanya di sana banyak gudang-gudang atau pabrik kopi,” ujar Kepala Desa Pulau Panggung, Maman Bagus Purba, Kamis (18/5).

Tapi ada pula pengepul kecil memasok dan menjual dalam bentuk bubuk kopi ke Palembang dan Tanjung Raja, Ogan Ilir. “Sekarang harga biji kopi kering Robusta mahal karena produksi sedikit akibat cuaca ekstrim, sekitar Rp30 ribu per kg, sementara bubuk kopi Rp50-60 ribu per kg,” ungkapnya.

Bagi petani, lanjut Maman, menjual biji kopi mentah lebih praktis ketimbang bubuk kopi atau kopi kemasan. Mengolah kopi juga butuh biaya produksi, waktu, dan peralatan mulai dari oven (pengering) buah kopi, pengupas biji, mesin sortasi, mesin sangrai (roaster), dan lainnya. “Ini yang mungkin membuat brand kopi lokal tidak terangkat, rata-rata petani kopi menjual mentah. Di desa lain juga begitu,” tuturnya. Sehingga kopi Sumsel kurang populer, meski provinsi ini penghasil kopi terbesar di Indonesia.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi kopi Sumsel tahun 2022 mencapai 212.400 ton atau menyokong 26,72 persen dari produksi nasional 794.800 ton. Baru menyusul Lampung 124.500 ton, Sumatera Utara 87 ribu ton, dan Aceh 75 ribu ton. Di Indonesia dan pasar dunia, beberapa produk kopi yang populer, seperti kopi Gayo (Aceh), Mandailing (Sumatera Utara), Liberika (Riau), Robusta (Lampung), atau Kintamani (Bali), tapi tidak demikian dengan Sumsel.

Padahal Sumsel punya beberapa nama kopi berdasarkan sentra produksinya, seperti kopi Semende (Muara Enim), Dempo (Pagaralam), Besemah (Lahat), Ranau (OKU Selatan), dan Selangit (Empat Lawang). “Beruntungnya kopi Robusta Semende sudah mengantongi hak paten atau SIG sehingga bisa disejajarkan dengan kopi terkenal lainnya,” terang Maman.

Tinggal bagaimana meng-angkat dan mempopulerkan nama atau brand kopi Semende ke kancah nasional atau internasional. “Kuncinya menjaga kualitas kopi, maka saya kira petani juga sudah paham harus petik merah mengingat buah pilihan itu harganya mahal dibanding petik hijau atau kuning yang belum matang,” imbuhnya. Kemudian memperbanyak menjual produk jadi (kopi kemasan) bermerek, bukan hanya biji kopi mentah. “Kami berharap banyak petani kreatif atau barista muda di desa kita meng- olah kopi lokal,” sebutnya.

Memang saat ini sudah ada UMKM kopi, tapi jumlahnya sedikit. Ada namanya Tengkiang Kopi dan Tunggu Tubang yang memproduksi bubuk kopi Semende, dimodifikasi juga menjadi berbagai jenis kopi yang nikmat. “Cuma promosinya harus gencar lagi agar semakin terkenal, baik langsung maupun lewat jejaring online,” ujar Maman. Menjual offline sekarang pasarnya terbatas, sehingga mereka juga memasarkan di media sosial atau e-commerce.

Beberapa pesanan datang dari berbagai kota di Indonesia, seperti Jabodetabek, Kalimantan, sampai Papua. “Di Sumsel mungkin banyak kenal, tapi target kita pasar nasional. Dengan merambah online, walau promosi dari desa, UMKM kita tetap bisa memasarkan kopi Semende se-Nusantara,” tukasnya. Untuk pengiriman, kurir ekspedisi sangat membantu mengantarkan produk kopi ke konsumen seantaro negeri.

“Mereka sudah kerja sama dengan ekspedisi JNE,” tukasnya. Perusahaan jasa pengiriman ekspres yang kini berusia #JNE32tahun itu sudah masuk Desa Pulau Panggung, sekitar 26 km dari Kota Muara Enim. Jadi saat mendapat orderan, UMKM kopi dengan mudah mengirim paket via JNE. Dari daerah pelosok pun pengantaran begitu cepat dan tepat waktu. Makin banyak permintaan, makin dikenalah kopi Semende. “Mungkin ini salah satu jalan mengangkat brand kopi kita,” jelasnya. Kalau tidak ada kurir ekspedisi, ya susah pendistribusian sampai pelosok negeri.

Maka JNE seperti tagline-nya #ConnectingHappiness, menghantarkan kebahagiaan kepada UMKM dan konsumen. Omzet UMKM terdongkrak, konsumen bisa menikmati kopi Robusta dari hutan Semende. Ekspedisi ini juga menularkan semangat #JNEBangkitBersama, khususnya di era pasca pandemi, atau di masa turunnya produksi kopi saat ini, termasuk mempopulerkan brand kopi, melalui kolaborasi pemasaran digital yang optimal.

“Yang kami pikirkan, ke depan bagaimana supaya mayoritas petani atau UMKM menjual produk jadi. Bumdes bisa menggandeng, memberi pelatihan pengolahan atau peracikan kopi kerjasama dengan pemda dan jasa ekspedisi, serta membantu pemasaran via online atau pameran,” tandas Maman.

Kepala Desa Segamit, Kecamatan Semende Darat Laut (SDU), Sinwani menjelaskan mayoritas penduduk desanya, 1.350 KK (90 persen) merupakan petani kopi. “Penduduk kita betul-betul menggantungkan penghasilan dari komoditas kopi. Namun panen kopi ini setahun sekali dan produksi tergantung cuaca, sehingga petani harus nyambi menanam padi mencukupi pendapatannya,” ujarnya.

Berbeda jika brand kopi Semende semakin populer, tentu permintaan meningkat pesat dan harga kopi kian mahal. “Penghasilan petani bertambah, rakyat sejahtera,” lanjutnya. Dia berharap petani tak sekadar menjual biji kopi mentah, tapi produk bubuk kopi yang sudah punya brand. “Meski sebenarnya menjual mentah itu lebih gampang, di kebun pun komoditas kopi sudah dihargai pengepul. Kopi petik merah kondisi basah Rp3 ribu per kg, sementara biji kopi kering Rp30 ribu per kg. Sama saja perbandingannya, 10 kg buah kopi baru dipetik sama dengan 1 kg biji kopi kering,” tuturnya.

Cuma kan, lanjut Sinwani, orang jadi tidak kenal kopi Semende jika hanya menjual mentah. Pengepul membawanya ke Lampung, Palembang, sampai Aceh. Di Lampung, biji kopi Semende diolah menjadi bubuk kopi, jadilah kopi Robusta Lampung, padahal mungkin asalnya dari Sumsel.

Sinwani menuturkan menjual kopi kemasan juga memberi nilai tambah atau value added bagi petani. Apalagi cuaca ekstrem sekarang, bunga kopi banyak rontok jadi buahnya sedikit. “Kalau cuaca bagus, produksi kopi satu ton per hektar, tapi cuaca buruk begini paling banyak 500 kg. Bahkan ada yang cuma dapat 50 kg per hektar,” tuturnya. Dengan harga bubuk kopi yang mahal, walau produksi sedikit, petani kopi tetap berpenghasilan tinggi.

Namun ini tantangannya, sudah ada kelompok petani memproduksi bubuk kopi, pemasarannya masih terbatas. “Produknya sebatas kita bawa saat pameran, belum masuk toko luar kota. Sehingga kita pun merencanakan Bumdes kerja sama dengan petani dan UMKM memasarkan online. Saya kira ini tidak sulit,” paparnya.

Apalagi untuk kurir ekspedisi sudah sampai Desa Segamit yang jauh ke SDU sekitar 107 km dari Kota Muara Enim. “Pengiriman barang ke luar kota bisa pakai JNE. Bagus juga kalau nanti ada kerja sama mengantar produk kopi petani ke konsumen nusantara,” imbuhnya. Selain dari ekspedisi, Sinwani berharap ada pemberdayaan pemda kepada petani untuk pengolahan kopi, promosi online, hingga peningkatan brand kopi di Tanah Air.

Pengamat Ekonomi Sumsel dari Universitas Tridinanti Palembang, Prof Sulbahri Madjir menjelaskan jasa ekspedisi yang menjangkau sampai pelosok negeri, seperti JNE, mendorong UMKM pedesaan naik kelas. “Yang tadinya hanya menjual produk di tingkat lokal, kini bisa ke seluruh Indonesia,” ujarnya. Mereka membantu menggerakan ekonomi, mendukung transaksi dan pemasaran bisnis UMKM.

“Walapun daerah itu sulit dijangkau, tapi usaha rakyat tetap berjalan. UMKM skala home industry cepat berkembang, orang jadi kreatif menghasilkan barang meski hanya seorang ibu rumah tangga atau petani,” lanjutnya. Dengan kolaborasi bersama ekspedisi, UMKM desa menjangkau pasar lebih luas, mengefisiensi biaya logistik barang, dan tetap bisa memenuhi permintaan konsumen tanpa harus membuka toko offline. (fad)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan