Mantra Label Kekinian
Mohammad Eko Fitrianto (Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya)--
SUMATERAEKSPRES.ID - Ambil contoh minuman teh kekinian. Campuran teh dengan berbagai topping seperti boba, jelly, atau keju, dikemas dalam desain cup estetik, ditambah nama merek yang terdengar lucu atau nyeleneh, semakin menggoda seseorang untuk mencicipinya. Selain itu, kombinasi dari pengalaman mencoba dan tampilan yang estetik, sepertinya sayang jika tidak dipamerkan ke jejaring pertemanan.
Kekuatan viral dan keinginan untuk menjadi bagian dari tren memang bisa mengangkat produk ke puncak. Tapi hati-hati, ini adalah keajaiban sesaat. Produk-produk kekinian mudah dilupakan begitu muncul yang lebih baru, lebih unik, atau lebih Instagrammable.
Dalam beberapa kasus, usaha yang hanya mengandalkan “mantra kekinian” tak sanggup bertahan lebih dari satu musim tren. Ibaratnya “melesat seperti roket, dan menghujam seperti meteor!”
Fenomena ini mengingatkan saya pada dongeng klasik tentang Sang peri dan Cinderella. Sang peri menyihir Cinderella menjadi putri yang cantik jelita dan membuat labu menjadi kereta kencana.
BACA JUGA:Pengamat Pendidikan: Kaya Jangan Ngaku Miskin, Fenomena Ramai Pencetakan DTKS Setiap Jelang SPMB
BACA JUGA:Fenomena Belanja Online: Antara Kemudahan dan Ancaman Kecanduan Finansial
Namun, mantra itu hanya bertahan sampai tengah malam. Ketika jam berdentang dua belas kali, kereta kembali menjadi labu, gaun mewah menjadi kain lusuh, dan pesona menghilang begitu saja.
Begitu pula dengan “produk kekinian”. Label ini memang mujarab untuk memikat konsumen yang impulsif—terutama dalam kategori convenience goods, yaitu produk yang dibeli secara cepat dan rutin, seperti makanan ringan, minuman, atau jajanan kaki lima. Konsumen tidak membutuhkan proses berpikir ekstra saat membelinya. Yang penting menarik, unik, bisa difoto, dan tentu—kekinian.
Lebih jauh lagi, mantra kekinian tampaknya tidak cukup manjur untuk jenis produk lain seperti shopping goods atau specialty goods—produk yang pembeliannya melibatkan pertimbangan, riset, atau preferensi khusus. Misalnya, orang tidak akan membeli laptop, mobil, atau ponsel hanya karena sedang viral atau disebut kekinian.
BACA JUGA:Geger, Fenomena Aneh Sumur Bor Semburkan Gas dan Api di OKU Timur, Warga Desa Mengulak Heboh
BACA JUGA:Segera Klaim! Fenomena 'Dana Kaget' Ramai di Kalangan Pengguna Dompet Digital
Mereka menimbang kualitas, merek, fungsi, hingga harga. Dalam kategori ini, konsistensi, reputasi, dan relevansi jauh lebih penting ketimbang sekadar mengikuti tren sesaat. Dalam hal ini, mantra “kekinian” saja tak cukup.
Kita bisa melihat bagaimana beberapa produk yang dulu viral sebagai jajanan kekinian—misalnya donat kekinian, es kepal cokelat, atau sosis bakar mozzarella—akhirnya menghilang dengan sendirinya. Kehadiran mereka menyenangkan, tapi tak meninggalkan jejak yang kuat dalam kebiasaan konsumsi masyarakat. Ini menandakan bahwa mantra “kekinian” hanya ampuh jika dibarengi dengan inovasi yang konsisten dan relevansi terhadap kebutuhan konsumen.
Kata “kekinian” bisa memicu rasa penasaran, tetapi belum tentu bisa membangun loyalitas. Seiring waktu, konsumen akan bertanya: apa kelebihan produk ini dibanding yang lain? Apakah rasanya memang enak? Apakah kualitasnya terjaga? Jika tidak ada jawaban yang memuaskan, maka produk kekinian tak ubahnya seperti kisah sihir dalam dongeng—menyilaukan sesaat, lalu lenyap ditelan waktu.
