Awas Skabies karena Gigitan Tungau, Sering Ditemukan di Pondok Pesantren
Dr dr Gita Dwi Prasasty MBiomed-foto: ist-
PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID - Setelah melalui perjuangan panjang, Dr dr Gita Dwi Prasasty MBiomed resmi menggelar sidang terbuka promosi doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (Unsri) Kampus Madang, Senin (16/12).
Perempuan berhijab itu akan memaparkan disertasinya kepada tim penguji, meliputi Prof dr Saleha Sungkar DAP&E MS SpPark dari Universitas Indonesia, Prof Dr dr Mgs M Irsan Saleh MBiomed, dan Dr dr Fifa Argentina SpDVE SubspDT FINSDV dari Universitas Sriwijaya.
Perempuan kelahiran Palembang tahun 1988 ini mengambil judul disertasi “Hubungan Kadar 25(OH)D, Kadar IL-10 dan Ekspresi Gen HBD-2 terhadap Keparahan Penyakit Skabies”. "Penyakit ini banyak ditemukan di pondok pesantren (ponpes). Salah satunya sampel saya dari salah satu ponpes di Ogan Ilir (OI) yang saya ambil pada Oktober 2023 hingga April 2024," terangnya, kemarin.
Dosen yang gemar membaca ini menjelaskan skabies merupakan penyakit kulit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Kerusakan kulit akibat skabies dapat menyebabkan komplikasi berupa infeksi lokal dan sistemik yang berakhir pada morbiditas dan mortalitas.
BACA JUGA:Seputar Penyakit Ain dalam Islam, Penyebab, Bahaya Serta Cara Menghindarinya
BACA JUGA:Wabah Penyakit Misterius di Kongo: Gejala Demam Tinggi dan Penyebarannya Picu Kekhawatiran Dunia
Dijelaskan, kasus skabies di ponpes yang tidak putus terjadi karena pajanan tungau secara terus menerus dan kebersihan diri serta lingkungan yang kurang baik. Pada respons imun skabies terdapat keterlibatan IL-10 (interleukin 10) dan gen HBD-2 (Human Beta Defensin 2) yang dimodulasi oleh 25 (OH) D (Vitamin D). “Santri berisiko mengalami defisiensi Vitamin D karena aktivitasnya banyak dalam ruangan, berpakaian tertutup, dan konsumsi rendah vitamin D," terang ibu tiga anak ini.
Istri dari Dr Miliyandra SpPD FINASIM ini melanjutkan, jika seseorang mengalami rendahnya kadar 25 (OH) D atau vitamin D dapat mempengaruhi keparahan skabies melalui modulasi IL-10. Penelitian ini, terangnya, bertujuan menganalisis hubungan antara kadar 25 (OH) D, IL-10 dan Ekspresi Gen HBD-2 terhadap keparahan skabies.
Dijelaskan, penelitian ini dilakukan sekitar satu tahun. Diagnosis klinis skabies ditegakkan oleh dermatologis. “Penelitian kasus kontrol ini menyertakan penderita skabies parah dan ringan ditentukan berdasarkan jumlah lokasi tempat lesi atau luka akibat tungau, sampel berupa material di sekitar luka dan darah penderita skabies," urainya.
Menurutnya, sampel dari kulit diambil menggunakan tape stripping, kemudian ekspresi gen HBD-2 diperiksa menggunakan metode qRT PCR. "Sampel darah diperiksa kadar 25 (OH) D dan IL-10 dengan metode ELISA. Karakteristik sosiodemografi, lesi, kebersihan diri dan kondisi lingkungan juga diobservasi untuk ikut dianalisis," sambungnya.
BACA JUGA:5 Penyakit Yang Kerap Menyerang di Musim Hujan Berikut Pencegahannya!
BACA JUGA:Petani Wajib Tahu, Ini 6 Penyakit yang Sering Menyerang Tanaman Kubis dan Cara Pencegahannya
Dia melanjutkan, pada penelitian didapat tidak ada perbedaan rerata antara kadar 25 (OH) D, IL-10 dan Ekspresi Gen HBD-2 terhadap keparahan Skabies. Namun, kadar IL-10 adalah prediktor Independen terhadap keparahan skabies, yang juga mempertimbangkan lama keluhan, usia dan personal hygiene.
Penelitian ini juga mendapatkan kadar IL-10 dan ekspresi gen HBD- 2 bukanlah variabel perantara, antara 25(OH)D dengan keparahan Skabies. Indeks massa tubuh juga didapatkan berpengaruh negatif terhadap keparahan skabies serta 25 (OH) D berpengaruh terhadap kadar IL-10 dan ekspresi gen HBD-2. “Semakin rendah IMT (status gizi kurang) akan semakin memperberat keparahan skabies,” tuturnya.