Peran Nilai Agama dalam Pembentukan Etika Negara: Diskusi BPIP dan Tantangan Penguatan Moralitas
Diskusi BPIP menekankan pentingnya nilai agama dalam memperbaiki etika penyelenggara negara untuk masa depan bangsa. Foto: istimewa--
Meski demikian, contoh positif seperti sikap toleran yang ditunjukkan oleh Imam Besar Masjid Istiqlal, yang mencium kepala Paus Fransiskus, masih ada sebagai bentuk perwujudan agama yang membawa perdamaian.
Ahmad Najib Burhani, Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora BRIN, menyebutkan bahwa ada paradoks dalam hubungan antara negara beragama dan kesejahteraan.
"Ada korelasi yang tampaknya negatif antara kesejahteraan dan keyakinan tentang pentingnya agama," ujarnya.
Salah satu faktor yang memperburuk masalah ini adalah budaya Machiavellisme dalam politik, di mana para penguasa mengutamakan pragmatisme dan efektivitas dalam mencapai kekuasaan, meskipun dengan cara yang tidak etis. Budhy Munawar Rachman, pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, menambahkan bahwa Machiavellisme sering kali mengarah pada manipulasi dan politik transaksional yang merusak sendi-sendi moralitas.
Dalam menanggapi masalah ini, diskusi tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi. Di bidang hukum, nilai-nilai agama yang universal perlu dimasukkan dalam Undang-Undang Etik, dan pembentukan Mahkamah Etik menjadi penting untuk menegakkan sanksi moral dan etika. Selain itu, penegakan hukum yang tegas harus diterapkan pada pemimpin politik yang melanggar hukum.
Di bidang pendidikan, penting untuk mengintegrasikan nilai agama yang mengedepankan toleransi, keadilan, dan empati ke dalam kurikulum pendidikan, baik formal maupun informal.
Selain itu, pendidikan karakter perlu diperkuat di semua jenjang pendidikan, dengan tujuan untuk menciptakan individu yang bertanggung jawab dan tidak manipulatif.
Melalui langkah-langkah tersebut, diharapkan Indonesia dapat mengatasi kerapuhan etika dalam kehidupan bernegara dan mewujudkan negara yang lebih beretika dan bermoral.