Fenomena Politik dalam Pilkada
Mahendra Kusuma, SH, MH (Dosen PNSD Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Palembang)-ist-
SUMATERAEKSPRES.ID - Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di Tanah Air sebentar lagi akan dilaksanakan. Ada yang menarik untuk dibahas terkait dengan pilkada tersebut. Pertama, kecenderungan semakin berperannya faktor uang dalam proses politik (money politic): Kedua, semakin tergantungnya para calon kepala daerah dengan broker politik. Kecenderungan ini sedikit menggambarkan gejala baru di daerah, sebagai bagian dari riuh rendahnya dinamika berpolitik di masyarakat.
Politik Uang
Berperannya factor uang dalam pemilihan kepala daerah telah menjadi rahasia umum. Seorang calon kepala daerah haruslah menyiapkan sejumlah uang tertentu, setidak-tidaknya untuk dibagi-bagikan kepada calon pemilih selain untuk kepentingan-kepentingan lain dalam keseluruhan proses pilkada. Bagi mereka yang tidak beruang (tidak memiliki uang banyak) tentu miris tampil sekadar mendaftarkan diri sebagai calon.
Gejala ini jelas membawa implikasi tertentu pada kehidupan di daerah. Pertama, bagi calon kepala daerah sendiri. Jika uang sedemikian kuat mempengaruhi proses pemilihan, perhitungan-perhitungan ekonomi akan ikut mempengaruhi proses kekuasaan ketika yang bersangkutan memangku jabatan sebagai kepala daerah. Di situ dikhawatirkan akan muncul gejala “bayar utang”, bagaimana agar pengeluaran yang besar ketika proses pemilihan dapat kembali setelah menjadi kepala daerah, jika perlu dengan jumlah lebih besar.
BACA JUGA:Perempuan dalam Politik Harapan Besar untuk Menang di Pilkada
Suasana psikologis seperti ini dapat saja tumbuh, karena proses perjuangan meraih kedudukan sebagai kepala daerah telah dilalui dengan pengorbanan materi yang besar. Kepala daerah menjadi semacam jabatan yang pantas diraih dengan uang. Jika situasi seperti ini terjadi, akan memperlemah semangat dan nilai pengabdian seorang kepala daerah dalam menjalankan pemerintahannya.
Kedua, karena factor uang, tidak heran jika seorang calon kepala daerah yang memiliki kapasitas di bawah lainnya, keluar menjadi pemenang dalam pemilihan kepala daerah. Gejala ini membawa implikasi dan sekaligus menunjukkan fenomena lain yang tumbuh di masyarakat daerah. Bahwa masyarakat di daerah mulai terjangkiti penyakit materi dan pragmatisme.
Pilihan-pilihan keputusan dalam kehidupan masyarakat mulai didasarkan atas pertimbangan kegunaan secara materi atau ekonomi. Padahal selama ini masyarakat di daerah terutama di perdesaan dikenal sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi kejujuran dan ketulusan.
Broker Politik
Fenomena lainnya adalah keberadaan broker politik. Broker politik adalah orang yang menjembatani antara calon kepala daerah dengan konstituen. Kelompok broker ini, bisa bertindak atas nama pribadi dan kelompok atau komunitas, dan pada dasarnya di luar pengaruh wibawa calon kepala daerah dan cenderung mempunyai sikap otonom.
BACA JUGA:Bahas Situasi Kamtibmas dan Netralitas Pilkada, Rapat Bulanan Polres Lahat
BACA JUGA:Apel Siaga Bawaslu Sumsel di BKB, Wujud Komitmen Pengawasan Pilkada Aman dan Damai 2024
Maka calon kepala daerah terpaksa harus melakukan proses tawar menawar melalui kooptasi dengan kelompok ini. Bisa jadi bukan semata-mata bargaining politik, tetapi bargaining ekonomi secara murni. Artinya, yang mempunyai nilai tawar tertinggi, yang akan didukung. Dalam posisi yang rentan seperti ini, hubungan antara calon kepala daerah dan broker politik bisa menjadikan dan ataktis calon kepala daerah membengkak.
Jadi arena Pilkada tidak semata-mata soal hubungan antara calon kepala daerah dan masyarakat pemilihnya, tetapi juga hubungan antara calon kepala daerah dan broker politik. Peran broker politik sangat besar dan penting bagi calon kepala daerah yang kurang dikenal dan aksesnya kemasyarakat lemah. Di sini tugas broker menangani kelompok masyarakat yang tidak loyal dan cenderung tidak memilihnya.
Berhasil tidaknya seseorang menjadi kepala daerah, umumnya berkait dengan keberadaan broker politik ini. Oleh karena itu keberadaan broker politik sangat penting dan menentukan. Banyak calon kepala daerah gagal karena terlalu percaya pada kemampuan uang, dan tidak mengawasi permainan politik di tingkat broker politik.
Kesadaran Berdemokrasi
Kondisi di atas tentu saja kurang demokratis. Hal ini hanya akan mengakibatkan kepala daerah terpilih tidak mampu mengatasi problem yang muncul, karena kurang cakap dan seringkali tidak representative serta tidak sesuai dengan aspirasi mayoritas warga masyarakat.
Untuk menghindari pelaksanaan pilkada yang unfair, pemerintah (dalam hal ini Bawaslu) perlu meningkatkan pengawasan dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Lebih dari itu, pemerintah perlu secara intensif membenahi kesadaran berdemokrasi masyarakat daerah.
Peningkatan kesadaran berdemokrasi ini sangat penting dan strategis karena akan dapat menumbuhkembangkan pelaksanaan pilkada itu sendiri beserta perangkat peraturannya. Dengan peningkatan kesadaran berdemokrasi warga, akan menciptakan komunikasi politik yang aktif, kritis, utuh, stabil, partisipatif namun tetap patuh pada aturan main.