Isu Kedaulatan dalam Pandemic Treaty, Menanti Sikap Indonesia di Tengah Kontroversi Global
Isu Kedaulatan dalam Pandemic Treaty. FOTO: Canva--
SUMATERAEKSPREA.ID - Negara-negara di dunia saat ini menantikan keputusan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengenai Perjanjian Pandemi, atau Pandemic Treaty, yang rencananya akan disahkan pada Majelis Kesehatan Dunia ke-77 pada 27 Mei 2024.
Pandemic Treaty, juga dikenal sebagai Pandemic Agreement atau Pandemic Accord, adalah perjanjian internasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesiapsiagaan, pencegahan, dan respons terhadap pandemi di masa depan.
Inisiatif ini muncul sebagai pelajaran dari pandemi COVID-19, yang menyebabkan kekacauan global dengan lockdown, perebutan vaksin, dan sistem kesehatan yang terancam kolaps.
Namun, perjanjian ini tidak lepas dari kontroversi. Di media sosial, topik ini memicu perdebatan sengit. Banyak pihak khawatir bahwa Perjanjian Pandemi akan mengganggu kedaulatan negara dalam hal kesehatan.
Ada anggapan bahwa perjanjian ini akan memaksa negara-negara anggota untuk tunduk pada keputusan WHO, mengurangi kemampuan negara untuk mengambil keputusan sendiri.
Draf awal perjanjian, dikenal sebagai Zero Draft WHO CA+, diterbitkan pada 1 Februari 2023, dan dibahas dalam pertemuan keempat Badan Perundingan Antarpemerintah pada 27 Februari hingga 3 Maret 2023.
BACA JUGA:Wah! Ini Dia Sebab WHO Minta Semua Negera Larang Rokok Elektrik dengan Perasa
BACA JUGA:WHO Terbitkan Informasi Cepat Obat Pencegah TBC
Versi publik terbaru dari teks negosiasi dirilis pada 22 April 2024. Karena Zero Draft merupakan titik awal, isi perjanjian terus berubah seiring negosiasi yang berlanjut. Isu-isu utama yang sedang dinegosiasikan meliputi:
- Definisi dan prosedur untuk menyatakan pandemi serta implikasinya bagi negara-negara.
- Kesesuaian perjanjian ini dengan Peraturan Kesehatan Internasional.
- Prinsip-prinsip utama seperti hak asasi manusia, kedaulatan, kesetaraan, solidaritas, transparansi, dan akuntabilitas.
- Kesetaraan dalam rantai pasokan global untuk produk terkait pandemi dan akses teknologi.
- Penguatan ketahanan dan respons sistem kesehatan.
- Koordinasi antara negara dan WHO dalam kesiapsiagaan dan respons pandemi.
- Pendanaan inisiatif kesiapsiagaan dan respons pandemi.
- Pembentukan Badan Pengatur baru, COP atau Conference of the Parties.
- Masalah hukum seperti amandemen, penarikan diri, dan penyelesaian sengketa.
Laporan menunjukkan bahwa isu utama dalam negosiasi adalah pembagian produk kesehatan melalui donasi dan harga terjangkau bagi negara berkembang serta pembagian data patogen, yang dikenal sebagai Akses Patogen dan Pembagian Manfaat. Hal ini diatur dalam Pasal 12 teks negosiasi perjanjian versi April 2024.
Tidak mengherankan, banyak pihak yang meminta WHO untuk membatalkan Pandemic Treaty. Di Indonesia, suara-suara penolakan juga terdengar keras. Banyak yang menganggap perjanjian ini dapat mengancam kedaulatan kesehatan negara.
Isu ini mendapat tanggapan dari Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, yang menyatakan bahwa klaim-klaim tersebut salah.
BACA JUGA:WHO Sebut Penyakit X Jadi Bahaya Baru Yang Lebih Mematikan dari Covid-19
BACA JUGA:Mitigasi Risiko, WHO Prediksi Ada 10 Juta Kematian Akibat AMR