https://sumateraekspres.bacakoran.co/

Kritikan dari Dunia Kampus Muncul untuk Jokowi Jelang Pencoblosan, Pengamat Sebut Hal Ini

Pengamat politik Bagindo Togar menduga gerakan civitas akademik ini merupakan aksi politik yang dipertanyakan kemurnian dan independensinya. -Foto: Dudun/sumateraekspres.id-

PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID - Suasana politik di Indonesia semakin memanas menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024.

Kritikan tajam meluncur dari mahasiswa dan dosen 29 perguruan tinggi negeri dan swasta di seluruh tanah air, menyoroti Pemerintah Presiden Joko Widodo.

Gerakan petisi massif dari civitas akademika menuntut perhatian terhadap pelanggaran etika, tata negara, dan prinsip-prinsip demokrasi.

Gelombang kritik ini dipicu oleh keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah syarat usia calon presiden, membuka peluang bagi Gibran Rakabuming, putra Jokowi, untuk menjadi Calon Wakil Presiden berpasangan dengan Prabowo Subianto.

BACA JUGA:Bolehkah Shalat Pakai Kaos Partai Politik? Simak Disini Jawabannya

BACA JUGA:Hamid Basyaib: Ternyata Ada Krisis Etika Dalam Politik Indonesia

Kontroversi ini mencetuskan protes dari mahasiswa dan dosen di berbagai kampus.

Bagindo Togar Butar Butar, seorang pengamat politik di Provinsi Sumatera Selatan, memberikan pandangan kritis.

Ia menilai tuduhan terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai "Mahkamah Keluarga" atau "Mahkamah Konspirasi" merupakan pemaksaan interpretasi yang disorotnya sebagai bentuk protes pertama di Sumsel.

"Tidak ada di Sumsel yang protes," tegasnya.

BACA JUGA:Datangi Kampus, Renny Astuti Edukasi Mahasiswa tentang Dunia Politik

BACA JUGA:Prabowo-Gibran Jadi Pilihan Diaspora Eropa di Pilpres 2024, Ini Kata Pakar Politik

Bagindo mencatat bahwa pada Oktober dan November 2023, tidak ada reaksi dari komunitas kampus terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi.

Ia mengajukan pertanyaan, "Mengapa sekarang, menjelang Pilpres, sejumlah perguruan tinggi baru bergerak melakukan petisi, aksi, dan kritik?"

Perlu dicatat bahwa pada waktu keputusan Mahkamah Konstitusi diambil, itu dianggap sebagai legitimasi hukum, dan komunitas kampus tidak menunjukkan penolakan.

Namun, peningkatan elektabilitas Paslon Presiden yang dianggap sebagai kelanjutan pemerintahan saat ini menjadi sorotan utama.

Bagindo menduga gerakan civitas akademik ini merupakan aksi politik yang dipertanyakan kemurnian dan independensinya.

Ia menyoroti potensi agenda politik dari kelompok tertentu dalam gerakan ini, yang dapat merugikan proses Pemilu Serentak yang akan segera dilaksanakan.

Di sisi lain, masyarakat juga mengamati perkembangan situasi politik ini dengan cermat. Pertanyaan tentang sejauh mana keterlibatan civitas akademika dapat mempengaruhi dinamika Pemilu Serentak menjadi topik yang semakin mendapat perhatian.

Aksi dan petisi ini dianggap lebih elegan, terhormat, dan bermakna jika dilakukan pada bulan Oktober dan November tahun lalu, pada saat pendaftaran serta penetapan Paslon Presiden oleh KPU, bukan menjelang Pemilu yang segera tiba. (iol)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan