WAW! Utang Pemerintah Mencapai Lebih Rp8.000 Triliun Masih Dianggap Aman, Ini Alasannya,
APBN 2023 : Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, di sela konferensi pers APBN Kita 2023. Memaparkan kinerja dan realisasi APBN 2023. FOTO: NET --
“Juga fix rate sehingga tidak terlalu sensitif terhadap gerakan suku bunga yang ada di market," tutur Suminto.
APBN 2023 Penuh Turbulensi
Pada tempat yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN) 2023 disusun kondisi lingkungan global yang penuh turbulensi.
BACA JUGA:Transaksi Keuangan secara Online Tetap Aman, Ini Caranya!
BACA JUGA:Tingkatkan Inklusi Keuangan Syariah
APBN 2023 dibayangi masalah disrupsi rantai pasok, geopolitik yang memanas, perang hingga bencana alam serta inflasi dan suku bunga tinggi.
"Kita lihat 2023 geopolitik itu menciptakan fragmentasi makin dalam dan dikombinasikan dengan kebijakan di masing-masing negara tersebut, kemudian untuk adopsi suku bunga tinggi dalam respons inflasinya mereka. Ini menimbulkan dampak tidak mudah bagi perekonomian suatu negara termasuk untuk kita sendiri," papar Sri Mulyani.
Dia bersyukur, perekonomian Indonesia cukup resilien, meskipun Eropa diwarnai suku bunga tinggi. Begitupun, Amerika Serikat (AS) dengan inflasi tinggi dan China yang dihadapkan oleh pelemahan ekonomi domestik, serta kejatuhan sektor properti dan naiknya utang publik.
Untuk ASEAN, Sri Mulyani menilai regional masih merupakan kawasan yang resilien dari sisi ekonomi. Bahkan dapat dampak positif dari persaiangan geopolitik sehingga ASEAN menjadi episentrum pertumbuhan, sesuai tagline keketuaan ASEAN.
BACA JUGA:Daftar Gaji PPPK 2024 Beredar, Segini Besarannya Usai Kemenkeu Naikkan Alokasi di APBN
Dari sisi perekonomian dan pasar uang di tengah inflasi tinggi walau cenderung turun pada paruh kedua, tapi bank-bank sentral negara maju masih pertahankan suatu tingkat suku bunga tinggi .
"Makanya higher for longer masih terjadi dan itu memicu capital outflow meningkat dari negara-negara berkembang atau emerging markets," ujarnya.
Kondisi ini, meningkatkan shock karena dibarengi dengan kondisi perubahan iklim yang masih dan perkembangan digital yang harus diantisipasi.
"Di sisi lain masih banyak negara yang policy space sangat terbatas karena dimakan pandemi yang menyebabkan mereka tidak mampu merespons berbagai shock setelah pandemi," ulasnya.