Membangun IKN Nusantara Dari Desa Transmigrasi
PROYEK IKN : Salah satu proyek IKN Nusantara di Desa Bukit Raya, pembangunan Jalan Bypass Pasar Sepaku menuju pusat IKN Nusantara. Saat ini pekerjaan kontraktor menyelesaikan pemancangan pasak bumi. -Foto : Tuwono for Sumateraekspres.id-
SUMATERAEKSPRES.ID – Di sebuah Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI Jakarta, tonggak sejarah penetapan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara itu bermula. Presiden RI, Joko Widodo menyampaikan rencana besar pemindahan ibukota Jakarta ke Pulau Kalimantan pada Sidang Bersama DPD RI-DPR RI, Jumat (16/8/2019).
“Dengan ini saya mohon izin untuk memindahkan ibukota negara kita, ke Pulau Kalimantan,” kata Presiden Jokowi kala itu. Tentu ini bukan suatu keniscayaan, tetapi sebuah keputusan Pemerintah Indonesia dengan argumentasi, data-data, dan fakta-fakta di lapangan.
Menurut Presiden, keputusan ini sudah sangat terencana, sangat matang sehingga penetapan sebagian Kabupaten Penajam Pasar Utara dan Kutai Kertanegara, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) sebagai IKN Nusantara dinilai sebagai langkah yang tepat dan benar. “Berdasarkan kajian-kajian bahwa lokasi ibu kota baru ini paling ideal. Kita tidak ingin tergesa-gesa, tapi ingin secepatnya (pembangunan IKN, red),” ungkap Jokowi.
Dalam sejarahnya, ide pemilihan Pulau Kalimantan menjadi IKN sebenarnya sudah sejak dulu dicetuskan Presiden pertama RI, Ir Soekarno pada 17 Juli 1957. Saat itu Soekarno ingin memilih Palangkaraya sebagai IKN pertama namun tak kunjung terwujud, sampai akhirnya Presiden Soekarno menetapkan Jakarta sebagai IKN Indonesia melalui UU Nomor 10 tahun 1964 pada 22 Juni 1964.
Barulah 58 tahun kemudian, pada rapat paripurna DPR RI, Selasa (18/1/2022), Ketua DPR RI, Dr (HC) Puan Maharani mengesahkan RUU IKN yang diusulkan Pemerintah menjadi UU dengan sekali ketukan palu. Semua patut bersuka cita, karena pemilihan IKN Nusantara menandakan Pemerintah berusaha melakukan pemerataan pembangunan nasional. Dari sebelumnya masih Jawa-sentris menjadi Indonesia-sentris atau merata ke seluruh Indonesia sampai pelosok desa, dari Sabang sampai Merauke.
Pusat IKN Nusantara itu berada di sebuah desa eks transmigrasi, Sepaku IV yang kini bernama Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara. Sementara Titik Nol IKN berada di Kelurahan Pemaluan, Sepaku, sekitar 3,7 kilometer dari Bumi Harapan. Semula Sepaku berkembang dari program transmigrasi yang dibuka tahun 1975. Dulu wilayah itu merupakan kawasan hutan “perawan”, tapi dibuka sebagian untuk pemekaran daerah pemukiman baru oleh Pemerintah Indonesia sebagai lokasi transmigrasi.
Mayoritas warga transmigran berasal dari Pulau Jawa yang diboyong untuk menetap dan mengembangkan Sepaku secara sukarela. Salah satunya orang tua Tuwono (53) dari Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Keluarganya ikut program transmigrasi dengan harapan mendapat kehidupan lebih baik di daerah perantauan.
Ketika diajak orang tuanya ke Pulau Kalimantan, Tuwono masih berusia sekitar 5 tahun. Walau masih kecil, ia ingat betul perjalanan pertama kali ke sana. “Dari pelabuhan laut Kota Surabaya, kita naik kapal besar 9 hari 9 malam. Kapal melayari laut dan sungai sampai pelabuhan sungai Sepaku. Dulu belum ada jalan sama sekali, masih kawasan hutan, tapi rumah-rumah untuk warga transmigran sudah dibangunkan Pemerintah,” cerita Tuwono kepada Sumatera Ekspres.id, Jumat (1/12).
Orang tua Tuwono termasuk rombongan pertama kelompok transmigrasi. Awalnya cuma 500 KK ditempatkan di Desa Sepaku I yang kini namanya menjadi Desa Bukit Raya, Kecamatan Sepaku. Setelah itu, secara bertahap Pemerintah kembali mengirim kelompok transmigran dalam jumlah yang sama per desa. Mayoritas masih orang Jawa, ada pula dari Kediri, Tulungagung, Jember. Mereka selanjutnya menempati Sepaku II sampai IV dan Semoi I-IV.
“Waktu itu kami cuma dibekali nama lorong dan nomor rumah. Dari pelabuhan sungai kami menyusuri jalan tanah di antara hutan belantara, sekitar 1 kilometer ke rumah yang berjejer rapi. Ada yang lebih jauh lagi seperti Sepaku IV, pusat IKN sekarang itu 8 kilometer dari sini,” lanjut pria yang sudah menetap 48 tahun lamanya di Sepaku. Rumah asli dari Pemerintah beratap seng, berdinding daun nipah, dan berlantai papan.
Kendati jauh di perantauan, keluarga Tuwono tak berkeluh kesah dan berusaha beradaptasi di tempat baru. “Selain rumah, Pemerintah memberikan lahan pertanian kepada setiap keluarga masing-masing seluas 2 hektar. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, kami menggarap sawah, menanam padi, palawija, sayur mayur,” bebernya.
Lalu berkembang menanam pisang, pohon karet dari Pemerintah, hingga 25 tahun terakhir berkebun kelapa sawit sebagai mata pencaharian utama. “Mayoritas atau 80 persen pencaharian warga Desa Bukit Raya petani sawit plasma, sisanya buruh tani, kebun, atau kontruksi,” lanjut Kepala Dusun Sumber Rezeki, Desa Bukit Raya ini.
Kehadiran warga transmigrasi buat Sepaku berkembang menjadi daerah mandiri di antara hutan kawasan. Sebagai mana status Pulau Kalimantan sebagai salah satu paru-paru dunia karena luas hutannya mencapai 40,8 juta hektar. Kendati masuknya IKN Nusantara, Pemerintah tetap menjamin hutan-hutan dan kawasan konservasi yang ada tetap terjaga.
Tidak ada deforestasi dalam pembangunan kota baru, bahkan IKN Nusantara digadang-gadang menjadi Smart City dengan konsep forest city. Kota yang inklusif, hijau, dan berkelanjutan, serta layak huni untuk semua kalangan. Misinya menjadi Kota Dunia untuk Semua.