Sudahkah Pendidikan Kita Merdeka?
--
Alamsari
(SMP Negeri 1 Indralaya Utara)
“Pendidikan yang merdeka harus diawali dari kemerdekaan dalam belajar. Anak didik dilahirkan dengan membawa kodrat yang beragam. Guru ibarat petani dan anak didik umpama benih.
Tugas guru adalah menuntun dan mengarahkan agar anak tidak tersesat.”
Pada masa kolonial Belanda, pendidikan diselenggarakan sebagai misi terselubung untuk mendapatkan timbal balik yang menguntungkan bagi penjajah.
Rakyat Indonesia hanya diberikan pengajaran berupa keterampilan dasar seadanya, seperti membaca, menulis, dan berhitung untuk selanjutnya dijadikan sebagai pekerja yang membantu usaha dagang Belanda dan antek-anteknya.
Pada tahun 1922, Taman Siswa yang dipelopori oleh Ki Hajar Dewantara lahir sebagai wujud kemerdekaan dan kebebasan rakyat Indonesia dalam pendidikan. Ki Hajar Dewantara membawa semangat baru dalam fase pendidikan Indonesia yanglebih merdeka.
Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menghasilkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Penyelenggaraan pendidikan menjadi fondasi dasar untuk mewujudkan cita-cita luhur itu.
Menyadari pentingnya arti pendidikan tersebut, pemerintah menaruh perhatian serius dalam upaya memajukan pendidikan Indonesia semakin bermutu dan berdaya saing global melalui program merdeka belajar.
Apakah pendidikan kita sudah merdeka? Pertanyaan menggelitik sebenarnya. Secara harfiah memang pendidikan Indonesia sudah terbebas dari penjajahan, tetapi secara maknawi masih banyak hal yang menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua.
Pada kenyataanya, pendidikan Indonesia masih belum merdeka dalam belajar. Selama ini guru terjebak dalam aktivitas membuat administrasi pembelajaran yang kompleks dan menyita pikiran dan waktu.
Skenario pembelajaran yang dibuat pada praktiknya tidak terlaksana dengan baik dikarenakan guru tertekan target pencapaian kompetensianak didik yang pada akhirnya hanya diukur kelulusannya melalui ujian nasional.
Anak didik dipaksa untuk belajar secara seragam tanpa mempertimbangkan keberagaman kemampuan. Pelaksanaan pembelajaran di kelas menjadi tidak menarik dan terkungkung dalam penjara kurikulum.