Membedah Akar Masalah “Darurat Asap” Karhutla
SUMATERAEKSPRES.ID - Beberapa hari terakhir ini, masyarakat di sebagian Sumsel terutama Kota Palembang ‘terpaksa’ harus menghisap udara yang tidak segar dan kurang sehat. Terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terutama di lahan gambut telah menyebabkan munculnya asap dalam jumlah yang banyak dan menyebar kewilayah sekitarnya. Tercemarnya udara akibat asap kebakaran ini jelas memberikan dampak negative terutama bagi kesehatan masyarakat karena di dalamnya terdapat beberapa partikel dari zat-zat yang berbahaya.
Laporan dari beberapa sumber pengamatan kualitas udara di Kota Palembang dan beberapa kota lain di sekitarnya (seperti ISPU Net KLHK dan IQ Air) menunjukkan nilai Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) pada beberapa waktu telah sampai pada ambang sangat tidak sehat bahkan berbahaya. Pada tingkat kualitas udara sangat tidak sehat maka dapat meningkatkan resiko kesehatan pada sejumlah segmen populasi (masyarakat) yang terpapar.
Adapun ketika kualitas udara makin memburuk menjadi berbahaya maka dapat merugikan kesehatan pada populasi dan perlu penanganan cepat.
Kondisi ini bila berlangsung dalam kurun waktu yang terus menerus dan cukup lama maka akan berdampak banyaknya masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan seperti iritasi mata, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), hingga sesak napas. Dampak terhadap kesehatan akan menjadi semakin berbahaya jika diderita oleh balita, anak-anak, maupun kelompok masyarakat yang sensitive dan rentan terpapar partikel berbahaya dalam asap karhutla.Wajar saja tentunya jika pemerintah melalui sekolah-sekolah mulai membatasi aktifitas belajar-mengajar di luar ruangan bahkan mulai menerapkan pembelajaran secara daring (online).
Apabila dibedah secara lebih mendalam, setidaknya ada 3 (tiga) persoalan yang menyebabkan asap dari karhutla menjadi bersifat kedaruratan dalam konteks perlu penanganan yang cepat (mitigasi) sehingga dapat mengurangi dampak negatifnya. Pertama, persoalan karhutla di lahan gambut yang lebih sulit dipadamkan.Kedua, masalah ketersediaan air yang terbatas dalam pemadaman kebakaran. Ketiga, ketidakpastian iklim dan fenomena alam seperti el nino yang menyebabkan kemarau menjadi lebih lama.
Asap dari kebakaran gambut
Bila kita cermati, karhutla di Sumatera Selatan mengalami pergeseran dalam beberapa decade terakhir. Pada awal tahun 1980-1990 an, karhutla yang terjadi di dominasi oleh kebakaran di lahan mineral. Dalam kebakaran ini, lebih mudah dipadamkan karena apabila biomassa atau sumber bahan bakarnya habis atau dapat dibatasi maka api akan mati dengan sendirinya. Kebakaran di lahan mineral ini cenderung tidak menimbulkan asap dalam jumlah banyak karena bahan bakarnya cenderung lebih kering sehingga proses terbakarnya mendekati sempurna.
Memasuki tahun 2000an hingga saat ini, kebakaran di Sumsel mulai banyak terjadi di lahan gambut. Hal ini seiring dengan kian maraknya pembukaan lahan gambut untuk berbagai kepentingan seperti pertanian, perkebunan, dan kehutanan serta permukiman. Sebagai suatu ekosistem, lahan rawa gambut sejatinya secara alami tergenang air hamper sepanjang tahun (8-10 bulan per tahun). Karena selalu basah dan minimal lembab maka lahan gambut menjadi sulit untuk di bakar atau terbakar.
Adanya praktek pembukaan lahan gambut membuat areal tersebut menjadi lebih terbuka dan cenderung lebih panas serta lebih kering. Situasi ini menjadikan lahan gambut lebih mudah untuk terbakar. Parahnya lagi, kebakaran di lahan gambut yang cenderung tidak terlalu kering tersebut membuat kebakaran yang terjadi memproduksi asap yang lebih banyak dari kebakaran di lahan mineral. Perumpamaannya, seperti ketika kita membakar sampah yang belum terlalu kering maka akan mengeluarkan asap yang cukup banyak.
Ketika karhutla tersebut terjadi di lahan gambut maka asap yang munculakan menyebar mengikuti arah angin. Persoalan darurat asap terjadi terutama di Kota Palembang lebih banyak disebabkan oleh kiriman asap dari daerah gambut yang ada di Kabupaten OKI dan OI. Karena secara umum, arah angin di wilayah Sumatera Selatan bergerak dari arah tenggara menuju barat laut (dapat dicek dari data regional haze situation yang dikeluarkan oleh ASMC ASEAN). Dengan demikian, asap akibat karhutla di lahan gambut tersebut bergerak memasuki Kota Palembang.
Menilik data titik panas (hotspot) dariLAPAN BRIN, maka dalam beberapa hari terakhir ini jumlah hotspot (sebagai indikasi adanya kemungkinan karhutla) yang muncul di daerah OKI dan OI mengalami peningkatan. Dengan demikian maka wajar jika asap yang menyebar ke Kota Palembang dan sekitarnya menjadi kian pekat. Sayangnya, kita belum punya ‘pawang angin’ yang mampu mengubah dan mengarahkan asap menuju samudera/lautan sehingga tidak berdampak banyak bagi masyarakat yang bermukim di daratan.
Ketersediaan Air untuk Pemadaman
Dalam beberapa bulan terakhir ini, jumlah dan frekuensi hujan mengalami penurunan. Hal ini sejalan dengan tibanya musim kemarau. Adanya beberapa wilayah di Sumatera Selatan yang mengalami hari tanpa hujan hingga lebih dari 30 hari (1 bulan) membuat sumber air di banyak sungai, anaksungai, embung maupun kanal menjadi surut hingga hamper mengering. Masalah lanjutannya, ketika terjadi kebakaran maka upaya pemadaman di darat maupun pemadaman di udara (water bombing) menjadi terkendala dan terhambat dalam mendapatkan sumber air untuk pemadaman.
Dengan tidak tersedianya sumber air yang ada di sekitar / dekat dengan lokasi kebakaran membuat pengambilan menjadi lebih jauh dan lebih lama. Hal ini tentu berdampak dengan kecepatan dalam pemadaman karhutla. Semakin lama penanganan karhutla maka semakin sulit untuk dipadamkan, terutama di lahan gambut, karena api bergerak tidak hanya di permukaan tanah tapi juga masuk dan bergerak di bawah tanah.
Kendala seperti ini mengajarkan kita untuk menata pengelolaan air yang ada di lahan, utamanya gambut. Perlu dipastikan bahwa praktek-praktek yang dapat mempercepat keluarnya air dari lahan tidak dilakukan dan berupaya untuk dihindari. Sebagai contoh, ketika dilakukan pembuatan kanal dengan tidak memperhatikan arah kontur maka air akan segera tergerus / terbuang ke anak-sungai menuju sungai hingga ke lautan dalam waktu cepat. Akibatnya proses kekeringan lebih cepat terjadi, apalagi jika curah hujan mulai terbatas dan hari tanpa hujan kian panjang.Untuk itu water management dapat menjadi salah satu kunci mengatasi masalah keterbatasan air dan karhutla.
PolaPerubahanIklim
Perubahan iklim umumnya mengacu pada perubahan suhu dan pola cuaca dalam jangka panjang. Pergeseran ini bisa jadi bersifat alami, namun sejak periode 1800-an, aktivitas manusia telah menjadi pendorong utama perubahan iklim, terutama dengan pembakaran bahan bakar fosil (seperti batubara, minyak, dan gas) yang menghasilkan gas yang memerangkap panas (gas rumahkaca). Menurut Environmental Protection Agency (EPA), perubahan iklim secara signifikan yang terjadi pada periode waktu tertentu. Dengan kata lain, perubahan iklim juga bisa diartikan sebagai perubahan suhu yang drastis, curah hujan, pola angin, dan lain sebagainya.
Salah satu fenomena iklim yang banyak mempengaruhi peningkatan potensi terjadinya karhutla adalah el nino. El Nino terjadi akibat interaksi rumit antara laut dan atmosfer yang berdampak luas kepada pola cuaca dan ekosistem. Ketika terjadi fenomena ini, sebagian wilayah Indonesia mengalami penurunan curah hujan yang dapat mengakibatkan kemarau panjang dan kekeringan berkepanjangan.
Dalam kasus karhutla di Sumsel, ada korelasi antara fenomena el nino dengan kejadian karhutla yang besar dan luas. Hal ini tecermin dari data luas karhuta pada tahun 2015, 2019, dan 2023 saat ini. Fenomenael nino ini yang menyebabkan kemarau dan kekeringan lebih panjang terjadi dalam pola berulang 4 (empat) tahunan. Mengacu pada pola yang terjadi maka semestinya kita sudah dapat bersiap-siap memitigasi karhutla ketika el nino akan datang.
Pencegahan karhutla sesungguhnya lebih mudah, lebih murah, dan lebih kecil dampak negatifnya bila dibandingkan dengan pemadaman. Oleh karena itu planning by design tentu akan jauh lebih efektif dari pada planning by accident. Semoga menjadi pembelajaran bersama bagi kita dan para pihak pemangku kepentingan dalam menangani karhutla saat ini maupun ke depannya. (*)