Omzet Turun Drastis, Pilih Job Luar Kota

LARANGAN penampilan organ tunggal (OT) memutar musik remix dan sejenisnya, membuat para pelaku usaha OT membatalkan jadwal manggungnya di Kota Palembang. Jelas itu berdampak pada omzetnya. Penurunannya drastis, mencapai 80 persen. Bahkan sampai merugi. Owner OT Wika Sang Penjelajah, Adi Irawan, mengatakan dalam seminggu mereka biasa manggung dua kali. Selain musik remix, juga menampilkan live female disc jockey (FDJ).

“Dengan adanya larangan ini, mau tidak mau kami harus membatalkan kontrak manggung di Palembang,” sesalnya.
Dari puluhan jadwal manggung, tinggal satu job yang belum dibatalkan. Khawatir bila tetap manggung, peralatan akan disita. “Pemain dan penyanyi saat ini tidak nyaman. Jadi kami lebih memilih manggung di luar kota (Palembang). Seperti sekarang (kemarin), kami tampil di Kayuagung," ungkapnya. Dampak pelarangan memainkan musik remix, house music dan DJ, Adi memastikan semua pelaku usaha OT merasakan penurunan pemasukan atau omzet. “Turun drastis. Kami hanya menurut dan pasrah. Sebab kami yakin, semua rezeki sudah diatur oleh Tuhan,” tuturnya, kepada koran ini. Menurutnya, jelas mereka tertekan dengan kebijakan tersebut. Sementara kru OT dan pemain tetap harus dibayar. “Capek kalau begini terus. Jadi terima job-nya sementara di luar Palembang, yang daerahnya tidak ada kebijakan tersebut. Tentunya dengan harga yang cocok,” ucapnya. Untuk tarif manggung antara siang dan malam hari, jelas berbeda. Bukan harga mati, masih bisa nego. Sebab berkaitan dengan keamanan dan stamina dari pemain.
“Kalau di Palembang, job siang dari pukul 09.00-17.00 WIB, tarifnya rata-rata Rp14 juta. Kalau luar kota, jelas lebih mahal. Karena butuh tambahan biaya operasional,” pungkasnya.
Senada kata pemilik OT Cahaya Bintang (CaBi), Ricky Kuendra. Kebijakan pelarangan mainkan musik remix dan sejenisnya, jelas mempengaruhi dari segi pendapatan. "Kalau bisa kebijakan itu dikaji ulang, kami bersedia untuk tidak main malam. Tapi kalau dilarang seluruhnya, kami berharap tidaklah," tuturnya, kemarin. Sebelum ada larangan ini, mereka biasa memberitahukan informasi jadwal mereka manggung dalam waktu dekat. Sehingga ramai pengunjung yang datang. Jadi prestise tersendiri, dari yang punya hajatan. “Sekarang sudah tidak pernah lagi posting di media sosial, mau tampil di mana,” akunya. Dia sudah enam tahun memimpin OT CaBi. Mempekerjakan sedikitnya 13 orang. Mulai dari kru, penyanyi, sampai tukang angkut peralatan musiknya.
“Mereka digaji per pentas. Kalau tidak ada pentas, tidak dibayar. Tidak dapat duit mereka, sementara mereka punya keluarga untuk dinafkahi,” imbuhnya.
Penurunan omzet akibat sepi job, sudah dirasakan Adi sekitar 2 bulan terakhir ini. “Jadi banyak kru yang pinjam uang ke kami selaku pemilik," keluhnya. Untuk tarif pentas di sekitar Ogan Ilir, dia mematok Rp8-10 juta. Karena mereka berasal dari Kecamatan Tanjung Raja, Ogan Ilir. Namun kalau sudah ke kabupaten/kota lain, apalagi luar provinsi Sumsel, tentunya tarif akan lebih tinggi. Menyesuaikan jumlah operasional tambahan. "Tergantung jarak juga. Pernah mentas di Lampung, dibayar Rp40 juta. Ada juga main sampai ke Musi Rawas, Palembang, dan lainnya,” tandasnya.  (afi/kms/air)  

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan