Rencana Bangun Kampung Adat

*Keturunan Kubu Lebar Tapak dari Pagaralam, Bukan Pagaruyung

Hidup berpindah, jauh dari hiruk pikuk dunia. Itulah ciri khas Suku Anak Dalam (SAD). Di Sumatera Selatan (Sumsel), keberadaan mereka menyebar setidaknya pada dua Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara), Musi Rawas (Mura), dan Muba.

Upaya pembinaan untuk mengajak mereka hidup bermasyarakat pun dilakukan. Seperti di Muratara, sempat ada sekitar 75 anak-anak dari SAD yang bersekolah. Semangat mereka luar biasa. Difasilitasi mes yang berlokasi di wilayah Kecamatan Rupit. Tapi, usai momen pandemi Covid-19 melandai, selesai pula aktivitas di sana. Anak-anak itu dipulangkan ke orang tua masing-masing.

Di mess, tinggal dua petugas keamanan, Irsad dan Taap, yang kesehariannya menjaga lingkungan itu. “Fasilitasnya di sini lengkap. Ada kamar, ruang belajar, perpustakaan, ruang sekolah, mes pengurus, kamar mandi terpisah pria dan wanita, gudang, klinik pengobatan hingga musala dan lapangan,” bebernya. Baca juga : Asal-Usul Suku Anak Dalam, Versi Pemerintah Muncul karena Perang Kerajaan Jambi dan Kesultanan Palembang

Namun sayang, kompleks dengan luas 90 x 95 meter persegi itu kini kosong. "Sekarang hantu semua yang menghuninya. Ruangan banyak tidak terawat. Sejak sepi 2020, sering ada gangguan mistis," kata Taap.

Menurutnya, sempat beberapa kali mess itu dimanfaatkan untuk keperluan taktis seperti lokasi menginap ratusan anggota Brimob Polda Sumsel dalam pengamanan Pilkades Serentak 2022 lalu. Juga untuk lokasi pembinaan anggota Paskribraka, hingga pusat pelatihan petugas Damkar.

Namun setelah momen-momen itu, kondisi di sana kembali sepi. "Saya beberapa kali dapat laporan dari yang pernah gunakan mess ini, mereka dapat gangguan mistis. Termasuk cerita anggota polisi yang diganggu," bebernya. Baca juga : Kamu Nanya, Kamu Bertanya-Tanya ? Ini Nih Yang Bikin Kalimat Itu Viral Baca juga : Pengguna Aplikasi ini Bisa Dapat Saldo DANA Rp 500 Ribu, Cairnya Cepat

Terlepas dari itu, kini tak ada lagi anak-anak SAD yang sekolah di sana. Sudah banyak warga SAD yang bertanya, kapan mess akan dibuka lagi. “Mungkin sudah 50 orang lebih yang Tanya. Kami bilang saja belum tahu kapan," tuturnya.

    Penutupan tempat itu informasinya bukan masalah anggaran saja. "Informasinya, bantuan ke mess SAD seperti sabun, minyak kayu putih, pakaian dan lainnya itu jumlahnya berdus-dus dalam gudang. Tapi yang sampai ke anak-anak itu cuma satu. Sisanya hilang semua entah ke mana," timpalnya.

Terus ada ada beberapa kejadian lain yang tak layak untuk diceritakan sebagai pemicu. Menurut Taap, sebetulnya anak-anak SAD lugu dan belum mengenai dunia luas. Mereka jadi berbuat negatif akibat pengaruh orang lain. Baca juga : Soal Bahasa Indonesia Kelas 10 SMA dan Kunci Jawabannya

  Jafarin, kepala suku SAD Muratara sekaligus ketua adat Desa Sungai Jernih, Kecamatan Rupit, menuturkan, SAD atau Suku Kubu hanyalah salah satu sebutan suku yang berada di wilayah Provinsi Sumsel. Banyak nama lain. “Ada yang menamakan Kubu Rawas, Kubu Muntai atau Anak Rimba Rayo,” bebernya.

    Dulu, mereka biasa melangun alias nomaden (hidup berpindah-pindah, red). Saat ini, sebagian warga SAD sudah mulai membaur di tengah masyarakat.

Jafarin mengisahkan, mereka merupakan keturunan langsung dari Kubu Lebar Tapak. Lalu ada yang pindah ke Tanjung Atap Payo Buluh, Kabupaten Ogan Ilir. Juga ada yang dari Kelurahan Cambai, Prabumulih.

    Puyang mereka dulu enggan dijajah. Memilih lari ke dalam hutan. Sedangkan kerabat lain memilih bertahan di wilayah Tanjung Atap Payo Buluh, Ogan Ilir. "Saya sudah pernah silaturahmi ke sana. Masih banyak kerabat kami di Ogan Ilir dan Prabumulih. Tapi mereka sudah membaur dan sulit dibedakan dengan masyarakat biasa,” jelasnya.

Untuk menjaga tradisi, Jafarin dan SAD lain berencana membetuk kampung adat di Muratara. Informasi darinya, di wilayah kabupaten itu ada sekitar 2.000 kepala keluarga (KK) SAD. Semua masih menjaga dan menjalani tradisi kubu. Walaupun, sebagian sudah hidup membaur. Tapi tetap memegang tradisi leluhur.

    Ditambahkan Jafarin, kerabat mereka yang ada di Tanjung Batu, Tanjung Rajo Teluk Balai, Payo Lintah, Payo Batu, dan lainnya di Ogan Ilir sudah mulai memudar identitas mereka sebagai SAD. Tidak lagi melestarikan tradisi dan budaya leluhur. Mereka telah mengenal kemajuan teknologi. Punya smartphone, sepeda motor bahkan mobil. Anak-anak mereka juga sudah sekolah, tidak di hutan lagi.

   Karena itu, Jafarin dan kelompok SAD lain tergerak untuk melestarikan eksistensi di Muratara dan sekitarnya. Sudah dijalin komunikasi antar temenggung SAD. Baik itu kelompok Kubu Sungai Jernih, Muara Tiku, Pangkalan, Liam, Bina Marga, dan Gawang di wilayah Muratara. Juga Kubu Merasi, Semangus, dan BTS Ulu Cecar di Musi Rawas. Baca juga : Banyak Suku tapi Tetap Rukun

Kemudian, Kubu di Bayung Lincir, Sungai Kubu, Sungai Lalan, Sungai Bahar di wilayah Musi Banyuasin. Ada lagi, Kubu di Bukit 12, Bangko, Segayo, Muara Tembesi, Sungai Reba, Kutur, Rimbo Bujang di wilayah Provinsi Jambi. "Akan ada kegiatan yang dipusatkan di sini, di Muratara. Supaya orang tahu SAD masih ada. Nanti orang bisa berwisata ke kampung adat di sini, untuk melihat ritual dan aktivitas warga SAD," bebernya.

     Jafarin menambahkan, pihaknya masih melakukan koordinasi dengan sejumlah pihak. Baik antar Temenggung SAD maupun dengan pemerintah setempat. "Untuk lahan saya sudah siap 5 hektare. Tinggal yang lainnya perlu dibicarakan lagi. Untuk bangunan akan dibuat sealami mungkin, pakai bambu, atap sirap dan lainnya," tandas dia.

Ditambahkan Syahril, salah seorang tetua SAD Muratara menegaskan, mereka yang mendiami Kabupaten Muratara hingga Provinsi Jambi asal usulnya dari peradaban kuno di wilayah Pagaralam, Sumsel. Bukan Pagaruyung, Sumatera Barat.

  Menurut Syahril, dari beragam keterangan nenek moyang mereka, dulu terjadi dua arus migrasi SAD. Satu kelompok ke arah Empat Lawang, Musi Rawas, Lubuk Linggau, Muratara dan Jambi. Satu lagi ke arah Lahat, Prabumulih, hingga Tanjung Raja, Ogan Ilir dan Banyuasin.

   "Sampai sekarang banyak keturunan kami SAD di Ogan Ilir dan Prabumulih. Saya sudah ke sana, ke makam Puyang Kubu Lebar Tapak dan ke Tanjung Atap Ogan Ilir," bebernya.

Nenek moyang mereka dulu pindah ke Muratara untuk mencari sumber makanan dan menyelamatkan diri dari peperangan. Wilayah Muratara dikenal warga SAD sebagai 'Rimbo Besak' (hutan besar, red).

"Kami tidak tahu perang zaman apa. Yang pasti begitu ceritanya secara turun temurun," tambah Syahril.

Sementara, di Mura, SAD bermukim di wilayah Desa Q1 Tambah Asri, Kecamatan Tugumulyo. Di sana lebih kurang ada 19 kepala keluarga (KK), yang menetap. Mereka tinggal di sana sejak tahun 1951. Kepala Dinas Sosial Mura, Agus Susanto mengatakan, awalnya SAD ini hidup berpindah-pindah dari hutan ke hutan. "Sekarang sudah menetap. Anak-anak mereka juga ikut sekolah. Hidup sudah bersosialisasi. Ikut nimbrung jika ada acara-acara desa," katanya. Bahkan, mereka sudah punya kartu keluarga (KK), sudah tercatat sebagai penerima bantuan dari pusat maupun daerah. "Termasuk bantuan pendidikan dan kesehatan," pungkas Agus.

Dalam kehidupan SAD, ada tradisi Basale, untuk menyembuhkan orang sakit. Tapi sejak mereka mulai percaya menyembuhkan orang sakit di puskesmas, tradisi ini perlahan mulai ditinggalkan. (zul/lid)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan