Sumatera Ekspres | Baca Koran Sumeks Online | Koran Sumeks Hari ini | SUMATERAEKSPRES.ID - SUMATERAEKSPRES.ID Koran Sumeks Hari ini - Berita Terhangat - Berita Terbaru - Berita Online - Koran Sumatera Ekspres

https://sumateraekspres.bacakoran.co/

Mitsubishi baru

Transformasi MPLS Ramah 2025 Berfokus pada Hak Anak dan Karakter

Muhammad Isnaini, (Pengamat Pendidikan dan Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Raden Fatah Palembang) --

Teori Erikson tentang psychosocial development menyatakan bahwa anak usia sekolah berada pada tahap industry vs. inferiority, di mana mereka berusaha menunjukkan kompetensi dan merasa diterima (Erikson, 1968).

MPLS yang positif akan menguatkan rasa percaya diri dan kemampuan berinteraksi sosial siswa, sedangkan MPLS yang penuh tekanan akan menciptakan rasa inferioritas dan ketakutan yang dapat mengganggu proses belajar jangka panjang.

Selain itu, pendekatan karakter dalam MPLS juga mendukung implementasi Profil Pelajar Pancasila sebagaimana dicanangkan dalam Kurikulum Merdeka.

Nilai-nilai seperti gotong royong, integritas, mandiri, dan berkebinekaan global harus ditanamkan sejak awal masuk sekolah, melalui kegiatan-kegiatan bermakna yang melibatkan siswa secara aktif dan reflektif.

Namun, untuk mewujudkan MPLS Ramah secara menyeluruh, ada beberapa hal yang harus dihindari secara tegas, antara lain: pemberian atribut atau tugas yang tidak mendidik dan merendahkan martabat siswa, pelecehan verbal dan fisik, serta pemberian hukuman yang tidak manusiawi.

Praktik-praktik semacam itu bukan hanya melanggar hak anak, tapi juga bertentangan dengan prinsip pendidikan yang memanusiakan manusia (humanizing education) sebagaimana dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara.

Namun demikian, dalam praktiknya, masih banyak sekolah yang belum sepenuhnya meninggalkan pola-pola lama dalam pelaksanaan MPLS.

Beberapa sekolah masih menjadikan siswa senior sebagai aktor utama dalam kegiatan orientasi, tanpa pendampingan guru yang memadai.

Tidak jarang, siswa baru dipaksa menggunakan atribut tidak wajar, menjalankan tugas yang tidak bermakna secara pendidikan, hingga menerima perlakuan verbal yang merendahkan atas nama kekompakan atau budaya sekolah.

Praktik-praktik seperti ini sering kali dibungkus dengan dalih sebagai “tradisi” atau “ujian mental,” padahal secara nyata telah melanggar prinsip perlindungan anak dan menyalahi esensi pendidikan itu sendiri.

Dampak dari pendekatan tersebut sangat signifikan terhadap kondisi psikologis siswa baru.

Dalam masa transisi yang seharusnya menjadi momen menyenangkan dan membangun rasa percaya diri, mereka justru mengalami tekanan mental, ketakutan, dan bahkan trauma ringan hingga berat.

Beberapa siswa menjadi menarik diri, tidak percaya diri, dan sulit beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi rumah kedua.

Menurut Santrock (2011), pengalaman awal yang penuh tekanan dan intimidasi dapat menimbulkan kecemasan terhadap lingkungan belajar, mengganggu pembentukan identitas, dan berpengaruh pada kesejahteraan emosional anak dalam jangka panjang.

Alih-alih menciptakan karakter kuat, pendekatan represif seperti ini justru menanamkan ketakutan, kepatuhan buta, dan menjauhkan nilai-nilai demokratis serta kemanusiaan dalam dunia pendidikan.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan