Memperkuat Integritas 'Wakil Tuhan'
Muhammad Syahri Ramadhan Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Foto:Ist/Sumateraekspres.id--
Ketika pelanggaran dilakukan, uang kembali menjadi pelumas untuk melemahkan integritas aparat penegak hukum—termasuk hakim, jaksa, dan polisi.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam konsep klasiknya menegaskan bahwa hukum adalah petugas. Artinya, wajah hukum tercermin dari perilaku aparatnya.
BACA JUGA:Siap-Siap Payung Rabu 7 Mei, Hujan Sore Diprediksi Landa Hampir Semua Wilayah di Sumsel
Di sinilah krisis integritas menjadi sorotan utama. Sebab, bagaimana mungkin masyarakat bisa percaya pada hukum jika penegaknya sendiri menodai keadilan?
Lawrence M. Friedman menambahkan, kualitas sistem hukum bertumpu pada tiga pilar: struktur hukum (aparatur), substansi hukum (aturan), dan budaya hukum (kesadaran masyarakat).
Dari ketiganya, struktur adalah wajah nyata di lapangan. Maka, jika wajah ini ternoda, maka seluruh sistem ikut tercoreng.
Sayangnya, di Indonesia, praktik hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Sebuah adagium lama yang masih relevan hingga kini.
BACA JUGA:Bongkar Korupsi Tambang dan Inspektorat, Kejari Lahat Serahkan Uang Negara Rp 1 Miliar
Banyak masyarakat memandang hukum sebagai alat kekuasaan, bukan alat keadilan. Ini adalah refleksi dari buruknya integritas para penegak hukum, khususnya hakim.
Salah satu cara memperkuat integritas adalah dengan menerapkan sistem meritokrasi berbasis pengawasan akademik.
Di Belanda, putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap secara otomatis dikirim ke para guru besar untuk dianotasi.
Jika ditemukan kelemahan atau penyimpangan dalam putusan, maka hal itu dapat menghambat promosi karier hakim tersebut.
Mengingat sistem hukum Indonesia banyak mengadopsi hukum Belanda, tak ada salahnya jika sistem anotasi akademik juga diadaptasi.
