BACA JUGA:Tak Beri Nafkah Terancam 3 Tahun Penjara
Lalu, sampai kapan sih orangtua wajib menafkahi anaknya?
Berikut penjelasannya melansir NU Online.
Alasan Kewajiban Orangtua Menafkahi Anak
1. Anak Belum Mampu Bekerja
Ketika anak belum bekerja dan menghasilkan uang serta tidak memiliki simpanan sama sekali untuk biaya hidupnya, maka orangtua berkewajiban dalam menafkahi.
Namun, ketika seorang anak telah baligh dan mampu untuk bekerja, orangtua tidak memiliki kewajiban lagi dalam menafkahi, meskipun anak tersebut belum mendapatkan pekerjaan.
2. Ketika Anak Menuntut Ilmu
Meskipun seorang anak dapat dikatakan telah mampu untuk bekerja, tetapi ia masih dalam tahap mencari ilmu, seperti berkuliah dan ketika ia bekerja sambil menyelesaikan pendidikannya tetapi malah berdampak dengan terbengkalainya pendidikan anak tersebut, maka orangtua wajib dalam menafkahi anaknya.
BACA JUGA:Tips Selamatkan Anak dari Setrum Listrik: Langkah-Langkah Penting, Ayah Bunda Harus Tahu!
Batasan Menafkahi Anak
Hal lainnya yang membuat orangtua tidak lagi wajib menafkahi anak adalah saat anak telah memiliki simpanan uang yang banyak hingga bisa disebut sebagai orang kaya.
Contohnya, ia punya harta dari hasil warisan, maka dalam keadaan demikian orangtua tidak terlalu wajib untuk menafkahi anaknya, meskipun sang anak masih kecil.
Penjelasan tersebut sesuai dengan keterangan yang terdapat dalam kitab Hasyiyah al-Baijuri:
فالغني الصغير او الفقير الكبير لا تجب نفقته – إلى أن قال - وقد استفيد مما تقدم ان الولد القادر على الكسب اللائق به لا تجب نفقته بل يكلف الكسب بل قد يقال انه داخل في الغني المذكور. ويستثنى ما لو كان مشتغلا بعلم شرعي ويرجى منه النجابة والكسب يمنعه فتجب حينئذ ولا يكلف الكسب
“Anak kecil yang kaya atau orang baligh yang fakir tidak wajib (bagi orang tua) menafkahi mereka. Dan dapat pahami bahwa anak yang mampu bekerja yang layak baginya tidak berhak lagi menerima nafkah, sebaliknya ia (justru) dituntut untuk bekerja. Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa anak yang mampu bekerja ini masuk kategori anak yang kaya. Dikecualikan ketika anak yang telah mampu bekerja ini sedang mencari ilmu syara’ dan diharapkan nantinya akan menghasilkan kemuliaan (dari ilmunya) sedangkan jika ia bekerja maka akan tercegah dari rutinitas mencari ilmu, maka dalam keadaan demikian ia tetap wajib untuk dinafkahi dan tidak diperkenankan untuk menuntutnya bekerja.” (Syekh Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, juz 2, hal. 187)