SUMATERAEKSPRES.ID - Palembang dikenal dengan beragam pasarnya, seperti Pasar 16 Ilir, Kuto, Lemabang, dan lainnya.
Namun, di antara semua itu, Pasar Cinde memiliki tempat tersendiri dalam sejarah kota ini sebagai salah satu pasar tertua di Palembang, Sumatera Selatan.
Pasar Cinde dibangun pada tahun 1933, awalnya dikenal dengan nama Pasar Lingkis, dan terletak di poros jalan utama.
Berdasarkan keterangan Kemas Ari Panji, sejarawan Sumatera Selatan, nama Pasar Lingkis kemudian diubah menjadi Pasar Cinde.
BACA JUGA:Hyundai Bidik Mobil Hybrid, Segera Luncurkan ke Pasar Indonesia
BACA JUGA:Antusiasme Warga Sukaraya Meriahkan Jalan Santai dengan Doorprize dan Jajanan Pasar
Nama ini memiliki kaitan erat dengan makam Sultan Abdurahman, pendiri Kesultanan Palembang, yang terletak di belakang pasar ini.
Area pemakaman ini dikenal masyarakat sebagai Candi Welan atau Walang. Pasar Cinde dulunya merupakan pasar dadakan yang ramai dengan pedagang dari Pasar 16 Ilir.
Di masa perjuangan kemerdekaan, sekitar tahun 1947, Pasar Cinde menjadi saksi pertempuran masyarakat setempat dalam melawan serangan sekutu.
Menariknya, meski sering diasosiasikan dengan arsitek Herman Thomas Karsten, Pasar Cinde sebenarnya dirancang oleh Abikoesno Tjokrosoejoso, yang pernah menjadi konsultan Karsten.
BACA JUGA:Antusiasme Warga Sukaraya Meriahkan Jalan Santai dengan Doorprize dan Jajanan Pasar
Hal ini diungkapkan oleh Ahmad Ardani dari Ikatan Arsitek Indonesia Sumatera Selatan. Pasar ini memiliki struktur arsitektur unik dengan desain cendawan atau pedestoel, mirip dengan Pasar Johar di Semarang.
Di Indonesia, hanya Palembang dan Semarang yang memiliki bangunan pasar dengan struktur seperti ini—tanpa balok penopang konstruksi, dengan atap dak beton.
Status kepemilikan Pasar Cinde adalah milik Pemerintah Kota Palembang dan berdiri di atas lahan milik Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan.