Cerita lisan tersebut adalah anggapan umum bahwa seni Jaranan merupakan visualisasi kisah-kasih Dewi Sanggalangit ketika diperintahkan menikah oleh ayahnya, Prabu Airlangga. Sanggalangit hanya bersedia menikah kalau calon suaminya mampu menciptakan kesenian yang belum pernah ada di tanah Jawa.
Ternyata yang memenangkannya adalah Prabu Klanasewandono. Untuk mengenang sayembara yang diadakan oleh Dewi Sanggalangit dan pernikahannya dengan Klana Sewandana atau Pujangga Anom inilah masyarakat Kediri membuat kesenian jaranan yang disebut Jaranan Kediren.
Sedangkan di Ponorogo muncul Reyog yang di dalamnya terdapat Jaran Kepang yang disebut Jathilan.
Versi lainnya lagi menyebutkan Jaran Kepang terkait erat dengan Cerita Panji, terutama episode upaya mencari hilangnya Raden Putera atau Panji Inukertapati.
Karena itu dalam pergelaran Jaran Kepang digambarkan sekelompok prajurit berkuda yang diikuti anjing pelacak mencari hilangnya Sang Pangeran, masuk hutan, bertemu dan berperang melawan binatang buas.
Anggapan umum seperti itu sudah diamini secara umum. Kalangan pelaku Jaranan sendiri juga menyebut cerita yang sama ketika ditanya asal usul seni Jaranan.
BACA JUGA:Sosialisasi Inovasi Kampung Bari Reborn dan Sentra Perahu (KBRSP) Dua Ulu
BACA JUGA:Siap Pertahankan Juara Bertahan
Ada dugaan kata “kepang” berasal dari kepung. Menurut sejarawan M. Dwi Cahyono, dalam bahasa Jawa Kuna dikenal kata ‘kêpang’, yang bersinonim arti dengan ‘kêpung’, yang menunjuk pada: mengepung (Zoetmuder, 1995: 491).
Dalam arti ini, tarian yang dimainkan adalah gerak pengepungan oleh sekelompok orang prajurit berkuda. Yang mereka kepung adalah binatang buas, yaitu babi hutan (celengan), harimau (macanan atau kucingan), dan ular besar (barongan).
Arti istilah ini mengingatkan kepada tradisi rampokan, misalnya pada ‘rampokan macan’, yaitu pengepungan seekor macan (harimau) oleh sekelompok prajurit.
Versi lainnya, Jaran Kepang berasal dari latihan perang pasukan Diponegoro yang disamarkan. Juga ada interpretasi yang mengaitkan dengan fakta sejarah zaman kolonial, dimana pada zaman penjajahan Belanda dulu rakyat kebanyakan memang hanya boleh memiliki dan/atau memelihara kuda.
Rakyat tidak boleh menunggang kuda karena hanya Raja dan kaum bangsawan yang berhak. Kalau rakyat menunggang kuda, itu saru, karena lebih aji (terhormat) kudanya dibanding penunggangnya.
Hal inilah yang kemudian menjadikan seni Jaranan diinterpretasikan sebagai bentuk perlawanan karena rakyat kecil dilarang menunggang kuda sungguhan.
Trance atau kesurupan adalah hal yang sering terjadi selama pergelaran berlangsung. Pada umumnya, kesurupan terjadi setelah formasi tarian penunggang kuda yang pada awalnya lembut lalu berubah menjadi semakin liar mengikuti irama musik pengiring, perubahan ini biasanya diawali dengan suara lecutan ‘pecut’ atau cemeti yang meledak-ledak di udara, pada saat ini biasanya pemain tidak lagi menari dalam formasi kelompok.
Masing-masing akan menari dengan liar sesuai kehendak hati dengan diiringi lantunan tabuhan gending dan lagu yang semakin memberi suasana magis dengan ditambah aroma kemenyan yang menyeruak di sekitarnya.