PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID – Untuk mewujudkan target zero rabies 2030 di wilayah Sumatera dan Indonesia, Ketua PDHI Sumsel, Dr drh Jafrizal MM menyarankan 4 hal dalam menangani penyakit zoonosis tersebut.
Pertama setiap daerah harus memiliki payung hukum dalam pengendalian rabies agar semua pemangku kepentingan punya tanggung jawab masing-masing dalam upaya pengendalian penyakit menular terutama rabies.
BACA JUGA:Waspada Musim Kawin Anjing: 4 Bulan Peningkatan Risiko Rabies, Pentingnya Vaksinasi!
BACA JUGA:Kasus Meninggal Akibat Rabies Muncul Kembali, Kabupaten Lahat Tingkatkan Kewaspadaan
"Saat ini masih banyak yang belum memiliki payung hukum pengendalian penyakit hewan menular rabies," sampainya pada rapat koordinasi rabies wilayah Sumatera dihadiri seluruh dinas sebagai penyelenggara fungsi kesehatan hewan, Dinas Kesehatan, Dinas Pemerintahan Desa, Dinas Penanggulangan Bencana, Badan Karantina Indonesia, Balai Veteriner, kemarin.
Kedua, untuk mempercepat pengendalian rabies perlu menjadi program serius baik di Kementerian Pertanian maupun Kementerian Kesehatan serta pemerintah daerah.
Sehingga bebas rabies secara khusus harus masuk sebagai indikator kinerja pemerintah yang dilaksanakan oleh Dirjen Kesehatan Hewan, dinas yang menyelenggarakan fungsi kesehatan hewan, maupun Dinkes.
"Indikator utama ini harus dituangkan dalam renstra Kementerian Pertanian dan Kesehatan, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah unruk pemerintah daerah," ujarnya.
Ketiga, dalam rangka mendukung pelaksanaan vaksinasi dan kesehatan HPR dan ternak lain di daerah, ujung tombaknya pusat kesehatan hewan (puskeswan).
"Agar puskeswan mendapat perhatian dari pemda supaya pelayanan kesehatan hewan yang diselenggarakan dapat membantu menyehatkan hewan dan menghasilkan retribusi daerah berupa pendapatan asli daerah dari pelayanan yang diberikan," jelasnya. Untuk dapat mendapatkan retribusi harus ada perda retribusi sebagai payung hukum.
Perda retribusi terhambat karena pelayanan kesehatan hewan tidak termasuk jenis retribusi pelayanan jasa umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
"Berdasarkan hal itu, harus diupayakan pelayanan kesehatan hewan menjadi jenis pelayanan jasa umum sehingga dapat ditarik retribusi atas pelayanan yang diberikan.
Puskeswan juga dapat beroperasi berkesinambungan dan melayani kesehatan hewan tidak 100 persen menggantungkan anggaran APBD bila pengelolaannya BLUD," paparnya.
Terakhir mengingat organisasi dinas yang di kabupaten/kota tidak seragam akibat pembatasan nomenklatur dinas di pemprov dan pemkab/kota sesuai Permentan 43/2016, maka sedikit sekali Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan yang berdiri sendiri (merger).
"Akibatnya prioritas kegiatan menjadi kurang dukungan, baik SDM maupun anggaran pengendalian penyakit zoonosis rabies," jelasnya.