SUMSEL, SUMATERAEKSPRES.ID – Nelayan tangkap Mulyadi (36) melabuhkan kapal ikan bertenaga 2 GT (gross tonase) ke dermaga Dusun IV Sei Sembilang, Desa Sungsang IV, Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Sumsel siang itu. Setelah merapat ia melompat, meninggalkan tumpukan ikan sembilang hasil menjaring dua hari, lalu bersegera pulang.
Mulyadi sangat cemas karena mendapat kabar sang istri, Anita (29) yang hamil 9 bulan mau melahirkan. Di rumah panggung bertiang pohon nibung, beberapa orang keluarga menyaksikan. Di sana ada Bidan Desa Hj Rokiyah SST tengah mengecek tekanan darah dengan tensimeter, hasilnya lebih dari 140/90 mmHg.
Rokiyah menanyai gejala-gejala serta memeriksa tanda-tanda fisik. Ada rasa nyeri kepala dan perut, mual dan muntah. Ada bercak pendarahan. Selama ini Anita tak pernah memeriksakan kandungan ke puskesmas pembantu (pustu) hingga trimester akhir. “Istri bapak mengalami preeklamsia, sehingga berisiko persalinan di sini. Ia harus dirujuk ke RS Palembang,” kata Rokiyah.
Mulyadi galau dengan biaya RS yang pasti besar, sementara ia hanya nelayan kecil dengan pendapatan tak tentu. Belum lagi akses ke Kota Palembang sangat jauh dan berliku, via jalur laut mencapai 100 mil. Maklum Dusun Sei Sembilang terpencil di pesisir Sungai Sembilang, di antara gambut dan hutan mangrove, serta masuk Zona Khusus Taman Nasional Berbak Sembilang (TNBS) di Banyuasin. UNESCO sendiri menetapkan TNBS sebagai cagar biosfer dunia.
BACA JUGA:Syarat dan Cara Mudah Klaim Kacamata dengan BPJS Kesehatan
BACA JUGA:Besaran Iuran BPJS Kesehatan 2024, Ini Daftarnya
Namun Rokiyah menepis kekhawatiran itu. “Jika istri bapak punya JKN-KIS (Kartu Indonesia Sehat) BPJS Kesehatan, berobatnya pakai itu saja. Nanti lewat pustu, semua biaya persalinan hingga obat-obatan di RS gratis,” lanjutnya meyakinkan. Mulyadi bersyukur istrinya memiliki KIS dari pemerintah walau selama ini jarang digunakan.
Saat itu pula Anita diboyong naik speedboat menuju Palembang. Rokiyah ikut mendampingi, memastikan kesehatannya tetap stabil. “Kejadiannya sebelum Lebaran (Idul Adha) kemarin. Beruntung waktu itu siang hari, kalau malam agak susah, gelap. Apalagi pas ombak laut tinggi, alamat menantang maut, sebab speedboat melintasi pesisir Selat Bangka,” cerita Rokiyah, Kamis (11/7). Perjalanan laut dan sungai sampai Desa Sungsang I sekitar 2 jam, lanjut jalur darat naik mobil ambulans/travel ke RS 2 jam.Kendati begitu, bukan berarti Rokiyah tak pernah mengalami. Tahun lalu ada gawat darurat bumil mau bersalin malam-malam. “Sebelumnya pasien sempat ditolong dukun beranak, namun gagal melahirkan. Datanglah ke rumah, saya periksa, pasien tak bisa lahir normal harus dibawa ke RS,” ungkapnya.
Cuma gelombang laut sedang besar lantaran musim barat (Desember), ketinggiannya 3-4 meter. Karena mendesak, mereka tetap mengarungi laut. “Kami mengambil jalur aman, memutar lewat Karang Agung meski butuh 8 jam,” ujar perempuan yang bertugas di Dusun Sembilang sejak tahun 1999 ini. Di tengah sukarnya akses ke wilayah 3T, ia memaklumi praktek dukun beranak masih ada. Mungkin masih tradisi, awamnya masyarakat, jauhnya rumah sakit, mahalnya layanan medis, hingga belum jadi peserta BPJS Kesehatan.
Kehadiran program JKN sampai perkampungan di TN Sembilang mengubah stigma yang ada. Bahwa pelayanan medis itu mudah, murah, serta menjangkau pelosok negeri. “Di Dusun Sembilang ada pustu. Sekarang pasien kita gunakan BPJS semua. Saya juga selalu tanya khususnya pada pasien darurat. Ada BPJS tidak, jika ada enak saya rujuk ke faskes lanjutan, pasien pun tidak ragu,” terangnya.
BACA JUGA:Loker BPJS Kesehatan dan PT Pertamina, Terima Lulusan SMA, D3 dan S1, Ayo Segera Daftar!
Bahkan sebenarnya program JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan itu sudah ada di Sembilang sejak dimulai 2014 atau satu dekade lalu, berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. “Awalnya berobat gratis pakai KK-KTP atau Jamsoskes (Jamkesda) dan Jamkesmas, lalu seluruh program itu integrasi menjadi satu JKN,” beber Rokiyah. Hanya memang belum semua warga Sembilang terdaftar. Yang peserta, rata-rata penerima bantuan iuran (PBI) untuk masyarakat miskin.
“Ada mungkin separuh lebih (peserta). Yang belum kita anjurkan daftar mandiri,” imbuhnya. Persoalannya kadang masih ada warga tak punya KK, tak paham JKN, atau baru bikin saat diperlukan misalnya sedang kritis. Padahal iurannya tak mahal ketimbang menanggung beban tagihan medis. “Bersama Dinkes, Camat, Kades, kita selalu edukasi pentingnya JKN. Alhamdulilah sekarang banyak yang ngerti,” tandas Rokiyah.
Sementara Cristin Monika pernah kedatangan pasien anak muntaber disertai panas tinggi. “Keluarganya datang menemui saya minta bantuan ke RS. Saya hubungi klinik Sungsang I supaya merujuknya dengan BPJS Kesehatan,” ujar Kepala Dusun V Sembilang ini. Beruntung malam itu tak ada gelombang laut, jadi pelayaran tetap aman.