Lestarikan Sanjo, Midang Hingga Sedekah Ramo

Selasa 09 Apr 2024 - 16:00 WIB
Reporter : Tim
Editor : Dede Sumeks

  Midang merupakan warisan budaya yang telah dilestarikan dari generasi ke generasi. Tradisi arak-arakan ini sering terjadi dalam rangkaian acara pernikahan dan perayaan Idul Fitri. Midang memiliki dua versi utama yang sesuai dengan tujuannya.

  Midang Bebuke ini dimana ada arak-arakan muda-mudi yang dilaksanakan pada hari ketiga dan keempat Idul Fitri. Tujuannya adalah memperkenalkan pakaian adat suku masyarakat Kayuagung kepada generasi muda secara turun temurun.

  Lalu, ada Midang Begorok yang dilakukan sehari sebelum ijab kabul dalam pernikahan, di mana pengantin bersama keluarga berarak di sekitar Kayuagung. Midang Begorok juga diiringi oleh hiasan musik Tanjidor.

  Menurut Refly, tahun ini ada tambahan kegiatan baru, yaitu lomba Incang-Incang. Enam peserta dari enam kelurahan akan berpartisipasi dalam lomba ini, sebagai upaya pelestarian budaya Cang Incang. "Kami ingin pemuda menjadi penerus Budaya Cang Incang," tegas Refly.

Sementara di Muratara ada tradisi Sedekah Ramo.  Dalam kekayaan budaya masyarakat Uluan, tradisi sedekah ramo menjadi warisan yang tetap dijaga dan dilestarikan. Sedekah ramo adalah ritual yang dilakukan tepat setelah pelaksanaan salat Idul Fitri maupun Idul Adha, di tepi aliran sungai yang mengalir di sekitar wilayah tersebut.

  Camat Ulu Rawas, Darmawan, menjelaskan bahwa tradisi ini masih berlangsung kuat di wilayah tersebut. Setiap kali usai merayakan Idul Fitri, masyarakat Uluan turun ke lapangan terbuka atau tepi sungai Rawas dengan membawa masakan dari rumah masing-masing. Mereka kemudian bersama-sama menyantap hidangan tersebut sambil berdoa untuk keselamatan, tolak bala, dan berkah. 

"Tradisi ini masih berlangsung di wilayah kami, biasanya dilakukan setelah turun dari salat hari raya. Warga langsung menyantap hidangan bersama dan berdoa," ujar Darmawan.

Menurutnya, tradisi sedekah ramo menjadi bagian penting dari budaya masyarakat Uluan Musi dan diwariskan dari generasi ke generasi. Momen seperti ini dianggap sakral dan diyakini dapat membawa berkah serta perlindungan bagi masyarakat sekitar.

  Marlinda Sari, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Muratara, menambahkan bahwa tradisi ini kini telah diangkat sebagai agenda tahunan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Muratara.

Hal ini dilakukan untuk menjaga agar tradisi tersebut tetap lestari dan semakin dikenal oleh masyarakat luas. "Sedekah ramo merupakan tradisi turun temurun. Saat ini, kami terus menjaga dan menjadikannya sebagai agenda tahunan agar tetap lestari," jelasnya.

  Dia juga menyoroti filosofi positif di balik acara sedekah ramo, yang mencerminkan kedekatan antara masyarakat dengan Tuhan, hubungan yang baik antarwarga, serta kekompakan dalam berbagi. Tradisi ini tidak hanya berlangsung di Muratara, tetapi juga di daerah lain seperti Muba, Mura, dan Banyuasin.

Sedangkan di Lahat, Idul Fitri tak hanya terasa dalam doa dan kebersamaan di masjid, namun juga merayap ke rumah-rumah tetangga dengan tradisi santunan makanan dan maaf-maafan. Di Kabupaten Lahat, warga tak hanya membawa keu basah, kue kering, dan cemilan, tetapi juga hidangan berat seperti rendang, opor, tapai ketan, dan sambal bucis untuk berbagi kebaikan. "Hal ini jarang terjadi di kota Lahat, namun di desa-desa, tradisi ini masih kental," ujar Herman (37), warga Gunung Gajah Lahat.

  Menurut Mario Andramatik, seorang pemerhati budaya, tradisi pantauan ini bukan sekadar ritual, melainkan bagian dari warisan budaya yang harus dijaga kelestariannya.

“Tradisi ini kerap dilakukan di pedesaan saat resepsi pernikahan atau musibah kematian, dan kini merambah ke perkotaan saat Lebaran Idul Fitri, seperti di Kelurahan Bandar Jaya,” katanya. 

BACA JUGA:Midang Bebuke Bakal Meriah 

BACA JUGA:Rumpak-Rumpakan Bersama Jamaah Subuh Masjid Agung SMB Jayo Wikramo

Kategori :