Menjelang akhir Abad 19, kawasan Marunda dipenuhi kaum nelayan papa yang sering ditindas 'kompeni', julukan bagi tenaga pengamanan VOC.
Belum lagi adanya penindasan tuan tanah Betawi yang berkomplot dengan Belanda.
Perkampungan penduduk ada di kawasan rawa-rawa, kanan-kirinya masih hutan bakau.
Namun di tengah berbagai kesulitan, keberanian Pitung merampok VOC menginspirasi para penduduk untuk terus melawan kolonialisme serta menjaga harkat serta martabat mereka.
Berselang dua abad kemudian, di Marunda, tentu saja kondisi sudah jauh berubah. Namun rawa-rawa, serta semangat juang Pitung, terus dipertahankan oleh warga.
Salah satunya dengan cara tetap mempelajari seni bela diri silat yang dipratikkan Pitung pada masa kolonial.
BACA JUGA: Polisi Tetapkan 4 Tersangka dan 8 ABH Perundungan Calon Anggota Geng Tai, di Binus School Serpong
Silat Marunda agak berbeda dari mazhab pencak silat nusantara lainnya. Sumbernya, menurut salah satu instruktur yang kami temui, terinspirasi dari "perkelahian monyet melawan biawak."
Siapa sangka, berdasarkan kesaksian warga, Marunda dulu dipenuhi monyet. Sekarang primata itu sudah tidak ada lagi.
Selain mewarisi jurus silatnya, penduduk Marunda juga meyakini betapa arwah Pitung masih terus menjaga mereka sampai sekarang.
Banyaknya versi cerita tentang Pitung tentu membingungkan bagi awam.
Belum lagi kalau kita sudah masuk pada perbedaan informasi mengenai kuburan Pitung, yang mati muda karena akhirnya dieksekusi Belanda akibat pengkhianatan sahabatnya.
Yang jelas, Si Pitung adalah simbol keberanian khazanah budaya Betawi, tentang perlunya manusia melawan kezaliman sekaligus welas asih pada sesama yang membutuhkan.
Dengan semangat seluhur itu, akurasi sejarah tak penting lagi. Pitung akan terus abadi sepanjang masa. Kini beladiri tidak lagi digunakan untuk melawan penjajah.
BACA JUGA:Perjaka dan Perawan di Jepang Menjauhi Pernikahan dan Seks, Negeri Sakura Terancam Punah?
Namun beladiri saat ini digunakan untuk meraih prestasi hingga jaga diri.