“Mengefisien waktu perjalanan, lancar bebas hambatan, kecepatan kendaraan stabil, BBM hemat, rambu-rambu lengkap, lampu penerangan tersedia, dan aman berkendara 24 jam. Tak ada pengendara motor, penyeberang jalan, atau potensi kriminalitas di jalan tol,” pungkas Yayan.
Tak hanya masyarakat Desa Karangan merasakan keuntungan hadirnya JTTS, tapi seluruh rakyat Indonesia mendapat efek berganda. Semua ini berkat komitmen PT Hutama Karya (HK) mewujudkan pembangunan berkeadilan bagi masyarakat Indonesia. Sejak 10 tahun terakhir, Perseroan terus melakukan pembangunan JTTS dari Lampung sampai Aceh usai menerima penugasan Pemerintah untuk merencanakan, mendanai, membangun, mengoperasikan, mengelola serta memelihara JTTS selama masa konsesi.
Penugasan itu ditandai penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 100 tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Jalan Tol di Sumatera, lalu diubah melalui Perpres Nomor 117 tahun 2015. Selanjutnya Hutama Karya memulai titik awal pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) JTTS (grounbreaking) ruas pertama Bakauheni-Terbanggi Besar (Bakter) sepanjang 140 km di Sabah Balau, Lampung Selatan pada 30 April 2015.
Kini setelah genap satu dekade, HK sudah membangun sekitar 1.030 km ruas tol, yang menghubungkan hampir seluruh wilayah di Sumatera, mulai dari Lampung-Aceh (backbone), ruas sirip (feeder) dari Timur-Barat dan sebaliknya meliputi Palembang-Bengkulu, Pekanbaru-Padang, dan dari Medan-Pematang Siantar. Rinciannya 286,4 km ruas tol konstruksi dan 743,6 km ruas tol operasi.
Adapun tol yang sudah beroperasi penuh, di antaranya Tol Bakter, Tol Terbanggi Besar-Pematang Panggang-Kayuagung atau Terpeka (189 km), Tol Palembang-Indralaya (22 km), Tol Medan Binjai (17 km), Tol Pekanbaru-Dumai (132 km), Tol Sigli Banda Aceh Seksi 2-6 (49 km), serta Tol Binjai-Langsa Seksi Binjai-Tanjung Pura (38 km), Tol Bengkulu-Taba Penanjung (17 km), Tol Pekanbaru-Bangkinang (31 km), Tol Indralaya-Prabumulih (64,5 km), Tol Indrapura-Lima Puluh (15,6 km), Tol Tebing Tinggi-Indrapura (28,5 km).
Samsul, Kepala Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) mengatakan sejak Presiden RI melakukan peletakan batu pertama ruas Tol Bakter, masyarakat sudah berharap tembus sampai Sungai Sodong. Ternyata HK mewujudkan mimpi warga desa, pembangunan berlanjut pada ruas Tol Terpeka dalam 2-3 tahun saja setelahnya.
Tapi Samsul mengaku sempat mengajukan exit toll di Sungai Sodong ke HK, meski saat ini belum terwujud. “Sementara kita lewat gerbang tol terdekat, Simpang Pematang. Itu 1,5 jam dari Desa Sungai Sodong, lalu sampai Palembang total 3 jam,” ujarnya. Lebih efisien dibanding melalui Jalan Lintas Timur (Jalintim) yang bisa 6-7 jam baru tiba di Palembang.
Menurutnya, JTTS mempersingkat akses dan perdagangan masyarakat desa ke Palembang atau Lampung. “Pokoknya transportasi dan distribusi barang kebantu sekali, apalagi hasil bumi petani kita melimpah. Ada buah sawit, karet, singkong, beras, semuanya dibawa ke kota,” lanjut Samsul. Otomatis dengan transportasi cepat, transaksi jual beli komoditas makin ringkas dan murah, perekonomian desa meningkat pesat.
Keberadaan JTTS juga mengerek harga tanah di Sungai Sodong. “Sebelum ada tol paling Rp200 juta per hektar, setelah ada tol melambung 2-3 kali lipat. Kemarin waktu pembebasan lahan, warga kita yang tanahnya kena proyek tol mendapat ganti untung. Nilainya bervariasi tergantung lokasi, ada yang dapat Rp400 juta, Rp425 juta, bahkan Rp500 juta per hektar,” bebernya. Keuntungan lain, Desa Sungai Sodong semakin ramai dan aman sejak Tol Terpeka diresmikan tahun 2019.
Sopir Truk PT Multi Ekspres Transindo, Amir (55) mengatakan setiap pekan ia bisa 2 kali melintasi JTTS ruas Tol Palembang-Lampung. Pertama, saat berangkat mengangkut batubara 20-25 ton, ia masuk lewat gerbang Tol Bandar Jaya Km 154. “Perusahaan kita ada kontrak dengan tambang batubara di Tanjung Enim, jadi ngambilnya ke sana. Pintu tol terdekat Bandar Jaya Terbanggi Besar, kalau ke Palembang lagi jauh memutar. Batubara ini saya bawa ke stockpile di Cilegon, Jakarta, atau Bandung,” ujarnya.
Pulangnya nanti bawa barang-barang kelontong dan sparepart mobil motor seberat 7-8 ton dari Pulau Jawa, langsung ke pool Palembang Jl Soekarno Hatta. “Dulu sebelum ada jalan tol, saya biasa lewat Jalintim. Lama sampai, paling cepat 10 jam bahkan 14 jam,” imbuhnya. Sekarang sejak ada JTTS, ia tak pernah lagi melintasi jalan umum. Bos juga sering marah takut terjadi apa-apa, karena Jalintim cukup rawan. Malam sedikit, ketemu daerah rawan (kriminal), istirahat di rumah makan jadi lambat sampai. Uang jalan pun cepat habis karena sering mampir.
BACA JUGA:Hutama Karya Terus Askelerasi Mega Proyek Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS)
BACA JUGA:4 Etika Mendahului di Jalan Tol yang Aman Buat yang Baru Pertama Kali
“Tapi lewat tol bisa lanjut terus, jalannya bagus, dan aman 24 jam. Kalau muatan truk ringan, kecepatan kendaraan 60 km per jam, 6 jam sudah sampai Palembang/Lampung. Jika bermasalah di jalan tol, ada petugas yang membantu. Ini buat saya tenang walau berkendara tengah malam,” tuturnya.
Selain itu, biaya perjalanan lebih hemat. Lewat tol uang minyak (solar) sekitar Rp2 juta (P/P) plus tarif tol Rp1,6 juta. Sementara melalui Jalintim BBM-nya hampir Rp3 juta (P/P) plus biaya tak terduga lain. “Pungutan liar (pungli) ke sopir truk masih terjadi di beberapa titik Jalintim. Ini tak bisa terelakan, kalau menolak kami terancam,” sebut Amir. (fad)