Mbah Moedjair beberapa kali menangkap ikan dan membawanya pulang karena ikan-ikannya mati di kolam air tawar yang dibuatnya.
Akhirnya, ia berhasil setelah menggunakan campuran air laut dan tawar, lalu mengganti air yang digunakan secara perlahan. Keberhasilan itu muncul pada percobaan ke-11.
Ia mampu mempertahankan empat ekor ikan mujair yang siap dibudidaya di air tawar.
Mbah Moedjair pun berhasil memelihara ikan tersebut di kolam pekarangan rumahnya.
Keberhasilannya saat itu juga didengar oleh asisten residen atau penguasa daerah Jawa Timur pada zaman penjajahan Belanda.
Asisten residen memberi nama ikan tersebut dengan nama ikan moedjair, untuk menghormati Mbah Moedjair sebagai penemu ikan tersebut.
Mbah Moedjair sendiri meninggal karena penyakit asma yang diderita pada 1957.
Ia dimakamkan di Blitar, dan batu nisannya dilengkapi keterangan bahwa ia adalah penemu ikan mujair.
Meski masih menjadi misteri, bagaimana ikan itu bisa sampai ke muara terpencil di selatan Blitar, tak urung ikan tersebut dinamai "mujair" untuk mengenang sang penemu.
Ikan ini berkerabat dekat dengan ikan nila (Oreochromis niloticus) yang berasal dari Afrika bagian utara dan Levant.
Mujair merupakan ikan asli perairan air tawar dan air payau di wilayah tenggara Afrika, mulai dari Mozambik, Malawi, Zambia, Zimbabwe, hingga Sungai Bushman di Provinsi Eastern Cape di Afrika Selatan.
Ikan ini merupakan ikan yang mudah beradaptasi dalam berbagai kondisi lingkungan.
Mujair dapat hidup di semua jenis ekosistem perairan tawar, serta daerah pesisir laut.
Di wilayah asalnya, populasi mujair asli terdesak oleh keberadaan ikan nila.
Selain berkompetisi dalam memperebutkan makanan dan habitat, kedua spesies sering melakukan perkawinan silang menghasilkan hibrida.
Kasus ini telah terjadi di Sungai Zambesi dan Sungai Limpopo, sehingga mujair strain murni dikhawatirkan akan lenyap dari kedua perairan tersebut.