Yang mana, untuk di Bali, layangan berkembang dari layang-layang daun, hal ini dikarenakan bentuknya yang oval menyerupai bentuknya daun.
BACA JUGA:6 Cara Mengatasi Serangan Panik Mendadak, Nomor 3 Paling Membantu
BACA JUGA:Punya 142 Kontrakan dan 34 Rumah, Harta Kekayaan Haji Bolot Dinilai Melebihi Raffi Ahmad, Apa Saja?
Sementara di daerah lainnya seperti Jawa Barat, Lampung dan lainnya, layang-layang malah digunakan sebagai alat memancing ikan di laut dan danau.
Yang mana layangan tersebut dibuatnya menggunakan anyaman daun dari sejenis anggrek dan dihubungkan ke mata kail. Bahkan di Pangandaran, malah layang-layang digunakan untuk menjerat kalong atau kelelawar.
Caranya memasang jerat di tali layangan tersebut, sehingga saat diterbangkan dekat kalong atau kelelawar itu bisa terjerat.
Sejak abad ke 18, layangan dipakai sebagai alat untuk meneliti cuaca, salahsatunya dari Benyamin Franklin yang pada saat itu untuk meneliti muatan listrik pada petir tersebut menggunakan layangan yang terhubung ke kunci.
Hal ini untuk menunjukkan di dalam petir mengandung muatan listrik. Bukan itu saja, dalam dunia pelayaran, layang-layang juga digunakan untuk menghemat bahan bakar.
Dimana, layang-layang berukuran raksasa ini sengaja dibuat dengan bahan sintetis.
Di saat angin berhembus kencang, anak buah kapal (ABK) tersebut akan membentangkan layangan berukuran raksasa yang membuat kapal tertarik oleh layangan yang dihembus angin kencang tadi. Sehingga dengan hal ini, bahan bakar yang digunakan jadi lebih hemat.
Meskipun sebagian para ahli sepakat kalau layang-layang berasal dari Nusantara, akan tetapi catatan yang mengisahkan layangan ini tertuang di dalam dokumen dari negeri tirai bambu yakni tahun 2500 SM.
Adapun untuk gambaran layangan tertua ini berasal dari lukisan gua masa Mesolitik di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara tertera di tahun 9500-9000 SM.
Dalam lukisan gua tersebut menyebutnya dengan nama Kaghati yang tetap digunakan oleh warga Muna di zaman modern.
Di saat itu, dari lukisan gua tersebut layang-layang ini terbuat dari daun kolope ataupun umbi hutan sebagai layar induknya, sedangkan untuk bingkainya memakai kulit bambu dan talinya menggunakan serat dari nanas yang dililitkan sebagai tali.
Namun untuk saat ini, senar digunakan sebagai talinya.
Sedangkan dalam perkembangannya yang terjadi, adanya perpaduan tradisi Tiongkok dan Nusantara.