Salah satu yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan membuat Indeks Demokrasi Indonesia.
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dibuat oleh Badan Pusat Statistik merupakan salah satu parameter asesmen kondisi demokrasi di provinsi.
Baik dari sisi sistem, mekanisme, dan prosedur (aspek prosedural demokrasi), maupun persoalan-persoalan yang bersifat substantif seperti kebebasan, keadilan, dan perilaku demokratik atau adab bernegara masyarakat (substantive democracy).
Hal tersebut ditunjukkan dalam Angka IDI Nasional yang merupakan agregasi dari capaian tiap-tiap provinsi.
Potret demokrasi yang dihasilkan melalui pengukuran IDI selama tahun 2019 menunjukkan capaian sebesar 74,92 atau mengalami kenaikan sebesar 2,53 poin bila dibandingkan dengan capaian IDI 2018 sebesar 72,39 (masih dalam kategori “Sedang”, skor 60 – 80).
IDI 2019 memperlihatkan demokrasi Indonesia masih menghadapi tantangan-tantangan esensial sepanjang proses konsolidasi demokrasi yang terus berlangsung sejak 1998.
Dalam hal ini, IDI merupakan indeks komposit yang mengukur demokrasi melalui tiga aspek, yaitu aspek Kebebasan Sipil, aspek Hak-hak Politik, dan aspek Lembaga Demokrasi.
Selain itu, IDI juga mengukur kebebasan berpendapat, kebebasan pers, peran lembaga legislatif, serta supremasi hukum.
Terkait kebebasan sipil, capaian IDI mengindikasikan bahwa dua dasawarsa setelah Reformasi, bangsa Indonesia hidup dalam iklim kebebasan berkeyakinan dan kebebasan dari diskriminasi yang baik.
Manifestasi dari kebebasan sipil di Indonesia adalah kebebasan berserikat dan berkumpul, serta kebebasan berpendapat.
Oleh karena itu, persepsi, keinginan dan evaluasi publik menjadi salah satu tolok ukur berjalannya demokrasi di Indonesia.
Kini keberanian untuk mengungkapkan harapan dan keinginan pada segala hal yang berkaitan dengan pemimpin dan kepemimpinan serta pemerintahan mendapat ruang kebebasannya.
Hal itu mendorong lembaga riset independen tampil untuk menyampaikan aspirasi masyarakat ke ruang publik.
Lebih dari sepuluh tahun kemudian, beberapa media massa mulai mencoba melakukan riset, meskipun menjauh dari isu politik. Pada tahun 1987, Kompas dan Tempo mengangkat topik antusiasme kaum muda pada pemilu 1987.
Saat itu, tidak ada reaksi keras pada survei tersebut. Pada tahun yang sama, majalah Matra melakukan survei yang menyimpulkan bawa satu dari tiga pria memiliki “selingkuhan”, survei ini ditentang dan diragukan metodologinya.
Keseni