Pada keesokan harinya, Dr. AK. Gani yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran RI tiba di Palembang. Dia Bersama beberapa tokoh militer dan politik lokal di Palembang berunding dengan Kol. Mollinger di RS. Charitas terkait situasi pertempuran ini.
Dari hasil perundingan ini disepakati beberapa keputusan, yaitu: Pasukan TRI dan laskar yang terlibat pertempuran ini harus mundur dari kota Palembang sejauh 20 km, Residen Bersama Kepala Kepolisian dan ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) tetap di Palembang, dan Peng-hentian tembak-menembak berlaku sejak pukul 00:00 tanggal 6 Januari 1947 bersamaan dengan gerakan mundur pasukan TRI dan laskar ke luar Kota Palembang.
Respons para tentara dan laskar di lapangan beragam, tidak dipungkiri bahwa pertempuran ini benar-benar menguras tenaga.
Banyak kesaksian dari beberapa veteran yang sebenarnya merasa kecewa dengan perundingan tersebut karena mereka merasa masih mampu bertempur.
Namun mengingat ini merupakan keputusan pimpinan mereka dan disisi lain korban jiwa terutama masyarakat sipil terus bertambah mereka akhirnya mematuhi keputusan ini. Kebanyakan dari mereka dikirim ke luar Palembang dengan kereta api dari Stasiun Kertapati menuju daerah Payakabung, sekitar 37 km dari Palembang.
Pertempuran ini memakan cukup banyak korban jiwa selama lima hari berlangsung. Tercatat setidaknya lebih dari 130 militer Indonesia yang gugur.
Belum lagi rakyat sipil. Keterangan dari M.Isa juga dikuatkan oleh kesaksian seorang veteran tentara Belanda pada pertempuran itu.
Charles Destree dan Ulrich Van Kempen melihat pesawat-pesawat pembom Belanda membombardir pemukiman rakyat sipil di Palembang. Mereka juga melihat eksekusi militer Belanda terhadap orang-orang Indonesia yang mereka tangkap.
Mayat-mayat mereka kemudian dihanyutkan ke sungai-sungai di Palembang. Keterangan terkait korban etnis Tionghoa yang ada di Palembang juga memicu protes dari tokoh-tokoh etnis Tionghoa di Singapura.
Selain melayangkan protes resmi ke pihak Belanda, mereka membentuk sebuah badan bernama Badan Pelindung Bangsa Tionghoa Perantauan. Badan ini dibentuk untuk menggalang dana bagi korban perang di Palembang.
Pertempuran lima hari lima malam ini membuka babak baru dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Palembang.
Selama dua tahun awal kemerdekaan antara 1945-1947, elite politik dan elite militer lokal di Palembang berhasil mengkonsolidasi kekuatan dan memanfaatkan segala sumber daya di Palembang untuk kepentingan diplomasi pemerintah Indonesia.
Namun pascapertempuran ini, berbagai kesepakatan pascapertempuran merugikan pihak Indonesia di Palembang. Dari aspek militer bisa diartikan mundurnya TRI dan laskar keluar Palembang adalah hilangnya penguasaan mereka atas Ibu Kota Palembang yang cukup vital dan strategis.
Dari aspek ekonomi, pihak pemerintah lokal di Palembang kehilangan aset-aset ekonomi terutama pertambangan yang sebelumnya bisa dimanfaatkan untuk perjuangan. Dan secara politik kekalahan di pertempuran Palembang ini membuka peluang Belanda menguasai Palembang secara politis dengan nantinya “membekingi” pembentukan Negara Sumatera Selatan. (*)