KAYUAGUNG, SUMATERAEKSPRES.ID – Tikar purun merupakan salah satu kekayaan intelektual. Tikar purun berasal dari wilayah Pedamaran. Ini menjadi salah satu warisan budaya dari tujuh warisan budaya lainnya yang diakui sebagai kekayaan intelektual.
‘’Tikar purun ini sudah ada sejak zaman kolonial Belanda yakni pada tahun 1870,’’ ujar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata OKI, Ahmadin Ilyas.
Jadi memang sejak lama sudah ada. Tapi saat ini sudah dimodifikasi menjadi berbagai barang lainnya seperti topi, tempat tisu dan lainnya. Pengrajin tikar purun banyak ditemukan di Pedamaran.
Warga Pedamaran secara turun temurun sudah menjalani profesi membuat tikar purun. Sampai saat ini pun keberadaannya tetap eksis. Soal harga pun, masih sangat terjangkau, Tak mahal. Harga bervariasi. Untuk tikar purun yang polos dihargai Rp10 ribu per buah. Sedangkan untuk yang bermotif lebih mahal lagi.
Untuk bahan baku biasanya pengrajin mengambil dari Lebak Gembalan di Pedamaran Timur. ‘’Purun atau gulma memang banyak tumbuh di daerah gambut," terangnya.
Biasanya, hasil dari pembuatan tikar ini dijual ke berbagai kalangan dan pasar hingga berbagai provinsi di Indonesia. ‘’Karena duduk di atas tikar ini sangat nyaman, selain itu tikar purun ini tahan lama,’’ katanya.
Biasanya purun yang sudah diambil akan diangin-anginkan. Lalu, dipotong beberapa bagian. Selanjutnya dianyam dan dibuat persegi empat dengan ukuran sesuai keinginan. Kemudian setelah selesai anyaman selanjutnya dijemur agar purun tidak getas.
Jika musim kemarau, bahan baku purun ini sulit ditemukan karena perahu sebagai transportasi mencari purun tidak bisa menjangkau. Nah sekarang sudah masuk musim penghujan pengrajin tikar purun akan kembali ramai melakukan aktivitasnya membuat tikar. ‘’Ini juga menjadi mata pencaharian utama itulah alasan wanita di Pedamaran banyak menjadi pengrajin purun," tandasnya.(uni/)