Begitu pula saat mereka hendak menidurkan anak bayi. Incang-incang juga diigunakan bujang gadis muda ketika mereka berkumpul daalam satu acara tradisi.
“Pada intinya, incang-incang digunakan untuk menyampaikan suasana isi hati,” jelas Aufa.
Ditinjau dari isinya, ada tiga jenis incang-incang, yakni incang-incang pergaulan, incang- incang nyeding sukat (nasib malang), serta incang-incang tentang kehidupan dan keagamaan.
BACA JUGA:Destinasi Wisata Taman Darma Buana Pertahankan Seni Budaya dan Tonjolkan Wisata Religi
BACA JUGA:Destinasi Wisata Danau Rayo di Muratara Hadirkan Sapta Pesona Keindahan Taman
Saat ini, perkembangan incang-incang masih cukup bagus. Hampir rata- rata masyarakat mengetahui dan memahami keberadaan incang-incang dan ada beberapa diantaranya dapat menembangkannya dengan baik.
“Sebagai sebuah warisan budaya takbenda (intangible cultural heritage) incang-incang perlu mendapat perhatian untuk dilestarikan dan dikembangkan,” tuturnya.
Untuk Musik Jidur/ Tanjidur yaitu musik instrumentalia seperti musik orkesta. Namun anggotanya lebih sedikit dari musik orkesta.
Hanya sekitar 12 orang. Musik Jidur ini dipakai untuk mengarak penganten keliling dusun, disebut ‘Berarak’. Masih eksis hingga sekarang.
BACA JUGA:Berawal dari Kotoran Berakhir ke Tanah Suci, Desa Wisata Danau Shuji Energi Baru Warga Lembak
BACA JUGA:Digitalisasi Membangun Desa Wisata SAD
Di OKI dan sekitarnya banyak menggunakan Musik Jidur/Tanjidor dari Pedamaran. Dulunya,musik ini dibuat oleh penjajah Portugis dan dikembangkan di Indonesia di Sumsel oleh Belanda.
Berkembang di pedamaran pada awal abad 19, dibuat oleh orang Palembang yang menetap di Desa Cinta Jaya Pedamaran.
Untuk kapal telok abang, sudah jadi tradisi turun-temurun di Kota Palembang. Ramai dijual jelang HUT Kemerdekaan RI.
Bentuknya berupa mainan kapal-kapalan dengan disematkannya Telok Abang (Telur Merah) di atas kapal.
BACA JUGA:Destinasi Wisata Danau Merung Desa Lesung Batu Muda, Muratara Suguhkan Panorama Alam yang Indah