Nasi di dalam kotak itu masih berupa beras. Saya harus memasaknya dulu untuk menjadi nasi. Masak nasi di kereta api.
Saya buka bungkus plastiknya. Saya buka tutupnya. Isinya macam-macam. Tersimpan dalam berbagai saset terpisah. Ada saset berisi beras. Ada saset berisi kare daging, irisan kentang dan wortel. Ada saset berisi sayuran kering. Ada dua saset berisi air.
''Nah, ini saset yang jadi kompornya,'' katanyi.
Saset yang berfungsi sebagai ''kompor'' itu jangan dibuka. Ada tulisan di luarnya: jangan dimakan.
Saset''kompor'' ini harus ditaruh di bagian paling bawah kotak. Lalu air satu saset dituangkan. Sesaat kemudian air itu mendidih. Beras dituang ke kotak kecil. Diberi air dari saset kedua. Karenya ditaruh di kotak sebelah beras. Sayur kering ditabur di atas kare.
Kotak pun ditutup. Air mendidih. Kotaknya saya pegang: panas sekali. Uap didih keluar dari lubang kecil di penutup kotak. Sekitar 12 menit kemudian tidak ada uap lagi. Pertanda nasi sudah masak.
Saya buka tutup kotak itu. Uap mengebul. Masih panas. Nasi panas. Kare panas. Merangsang selera makan pagi setelah satu malam kedinginan.
Nasinya punel sekali. Seperti nasi Jepang. Saya tahu: ini berasnya pasti dari Tiongkok bagian Dongbei. Jagung ketan pun awalnya dari provinsi Heilongjiang dan sekitarnya.
Rasa karenya sudah disesuaikan dengan lidah Tiongkok. Tidak terlalu menyengat –seperti di tempat asalnya, India. Banyak orang Tiongkok kini sudah suka kare.
Itulah sarapan seharga sekitar Rp 50.000. Saya tidak menghabiskannya. Saya khawatir kembali diejek sebagai si tembem. Atau si perut buncit. Timbangan saya sudah 72 kg –turun 3 kg sejak di rumah bambu.
Makanan instan kian banyak jenisnya. Juga kian disukai. Jangan-jangan begitu juga pemimpin instan.(*)