SATUKATA hilang dari riuh rendah capres-cawapres periode sekarang ini: istikharah.
Tidak ada lagi capres atau cawapres yang mempertimbangkan hasil salat istikharah. Untuk maju atau tidak maju. Atau ingin istikharah dulu sebelum menentukan sikap. Termasuk dalam memilih pasangan politik.
Term agama kini sudah kalah dengan ilmu pengetahuan. Istikharah kalah dengan jajak pendapat. Suara langit kalah dengan angka-angka.
Salat istikharah adalah satu jenis salat untuk minta petunjuk Tuhan. Terutama dalam bersikap. Atau menentukan pilihan.
Yang paling populer adalah dalam menentukan pasangan hidup. Memilih calon istri atau suami. Lalu berkembang ke politik.
Banyak kiai utama mendukung satu calon pemimpin politik dengan alasan: sesuai dengan hasil istikharah.
Salat jenis itu harus dilakulan lewat tengah malam. Disebut juga salat malam. Sekitar pukul 02.00 sampai 03.00. Ketika yang lain lelap-lelapnya tidur.
Dalam salat itu akan muncul bayangan siapa yang harus dipilih. Bayangan itu bisa jelas bisa juga hanya indikasi.
Saya belum pernah salat istikharah. Waktu pilih istri sepenuhnya karena tertarik. Jadi cinta.
Dalam politik kini jajak pendapat menjadi pertimbangan utama. Yang nomor dua adalah emosi.
Saking emosinya sampai mencari lembaga jajak pendapat yang bisa mendukung luapan emosinya.
Coba bayangkan Anda jadi Prabowo Subianto. Disodori hasil jajak pendapat lembaga sekelas Denny J.A. Terbaru, tapi masih pekan lalu:
Prabowo 37 persen, Ganjar Pranowo 35,2 persen, Anies Baswedan 22,7 persen.
Seberapa pun gegap gempitanya pendaftaran capres-cawapres kemarin harapannya masih besar.
Angka-angka itu membuat orang penasaran: bagaimana hasil jajak pendapat setelah pendaftaran capres-cawapres. Terutama setelah Ganjar Pranowo dipasangkan dengan Mahfud MD.