26 September permohonan dicabut. 29 September sidang memeriksa pencabutan. 30 September MK menerima pembatalan pencabutan. 3 Oktober sidang konfirmasi pembatalan pencabutan.
Dalam permohonan itu memang disebutkan Almas bercita-cita ingin jadi presiden/wapres. Maka kalau batasan 40 tahun itu tidak dibatalkan, ia merasa hak konstitusionalnya hilang. Di sinilah MK menilai Almas (bahasa Arab, artinya berlian) punya legal standing untuk menggugat.
Di samping itu hak-hak banyak anak muda juga dirugikan. Ia menyebut 10 kepala daerah berumur di bawah 40 tahun yang juga dirugikan: Bupati Tuban Aditya 30 tahun, Bupati Trenggalek Nur Arifin 32 tahun, Bupati Sidoarjo Mukhdlor Ali 30 tahun, Bupati Samosir Vandito Timotius Gultom 30 tahun, Bupati Purbalingga Dyah Hayuning Pratiwi 35 tahun, Bupati Pangkajene Yusran Lalogau 30 tahun, Bupati Ogan Ilir Wijaya Akbar 31 tahun,
Bupati Kendal Dico Mahtado Ganindito 32 tahun, Bupati Kediri Hanindito Himawan 30 tahun, dan Bupati Indragiri Hulu Riau Rezita Meylani Yopi 28 tahun. Tapi alasan utamanya adalah Gibran. Bagaimana Gibran sangat merakyat dan mampu memajukan ekonomi kota Solo. Dari minus 1,7 persen menjadi tumbuh 6,2 persen. Melebihi dua kota yang lebih besar: Semarang dan Yogyakarta. Padahal Solo bukan ibukota provinsi.
Almas juga menyebut hasil riset Universitas Slamet Riyadi Solo: kepuasan rakyat Solo terhadap Gibran mencapai 79,3 persen. Bahkan yang menilai Gibran merakyat mencapai 93 persen.
Saya baca tuntas putusan MK yang hampir 50 halaman itu. MK mengakui ada ketentuan soal open legal policy: bahwa putusan soal umur itu di tangan DPR. Tapi MK juga punya wewenang itu sepanjang memenuhi tiga hal: timbul problematik kelembagaan, menghambat kinerja lembaga negara, dan menimbulkan kerugian konstitusional warga negara.
Ketentuan itu ada di putusan MK sendiri. Yakni No 7 tahun 2013. Kelihatannya alasan ketiga itulah yang dipakai dasar bahwa MK merasa punya wewenang mengabulkan sebagian permohonan Almas. Intinya, Gibran bisa maju sebagai cawapres. Terserah Gibran sepenuhnya. Termasuk kalau ia berani melawan arus yang lagi deras.
Termasuk arus ejekan. Yang lucu sampai yang serius. Prof Dr AS Hikam misalnya, merasa sudah kehilangan harapan. Pengikut Gus Dur dan mantan Menristek itu saya hubungi kemarin. Katanya: ''Saya jadi paham mengapa politik sering disebut seni. Harganya semurah air seni (kencing). Baunya menyengat seperti air seni onta,'' katanya.(*)