SUMSEL – “Pakeeeet!” teriak seorang kurir ekspedisi sambil mengetuk pintu rumah Ketua Kelompok Suku Anak Dalam (SAD) Muratara, Japarin. Hari itu, ia kembali menerima satu paket belanja online berbungkus plastik hitam yang dikirim sebuah toko baju dari Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat. Walaupun alamat pengantarannya sama dengan alamat rumahnya di Desa Sungai Jernih, Kecamatan Rupit, Kabupaten Muratara, Sumsel, nyatanya nama penerima paket itu bukan untuk Japarin atau keluarganya.
“Paket ini punya warga saya (SAD, red), mereka tinggalnya di kampung ini juga. Cuma karena orang luar tahunya dengan saya sebagai tetua adat, jadi kurir mengantar barang (paket) pasti ke sini,” ujar generasi ke-4 SAD di Muratara ini. Padahal Japarin sendiri tak pernah belanja online, mengerti pun tidak, rata-rata orang-orang tua demikian.
“Di sini sinyal (internet)-nya kurang bagus. Ada WA (WhatsApp) tapi tidak nyambung. Yang belanja online itu anak-anak remaja kami (SAD), sejak tahun lalu. Mungkin mereka nyari sinyal ke dusun lain,” lanjut Japarin. Beberapa di antaranya memiliki smartphone, mereka sudah mengerti bermain internet (medsos) atau belanja online. Belajarnya dari orang-orang Desa Sungai Jernih ini juga karena orang rimba sudah bergaul ke masyarakat luar.
Diakui Japarin, setiap Minggu ada saja paket diantar sang kurir baik berupa pakaian, sandal sepatu, kosmetik, mainan, kadang-kadang peralatan berburu seperti pisau-pisau, bubu ikan, perangkap rusa. “Warga kita ini pencahariannya masih tradisional. Mereka menangkap ikan, labi-labi, berburu babi, mencari buah atau madu hutan. Memungut berondolan sawit yang jatuh untuk dijual. Anak-anak kita kadang ikut mencari, makanya membeli perlengkapan berburu. Ada pula yang jadi petani karet, padi, atau sawit,” terangnya.
Tetapi SAD belum mengerti soal pembayaran transfer bank atau dompet digital (e-wallet). “Bayarnya langsung ke kurir (COD, red). Biasanya uangnya titip ke sini, atau kadang saya panggil orang yang belanja untuk membayar kurir,” tuturnya. Ketertarikan SAD belanja online seperti orang kebanyakan, karena harganya lebih murah dibanding membeli ke pasar kalangan. Selain itu tidak repot, tinggal menunggu di rumah barang datang.
Transformasi digital memang tak dapat dipungkiri seiring berkembangnya IT (informasi teknologi) di masa kini. Kehadirannya memudahkan masyarakat memajukan daerah dari berbagai sektor, baik itu pendidikan (sekolah/belajar daring), kesehatan (telemedicine), perdagangan (belanja/transaksi online), hiburan/media (media sosial), jasa keuangan digital, digitalisasi lembaga pemerintahan, dan sebagainya.
Tapi tentu saja, digitalisasi harus didukung keberadaan infrastruktur digital ke seluruh negeri, misalnya jaringan backbone (koneksi/sinyal internet), data center, maupun cloud computing (server, database, perangkat lunak). Jika semua tersedia, tranformasi digital 4 sektor (infrastruktur, pemerintahan, ekonomi, masyarakat digital) seperti termaktub dalam Peta Jalan Indonesia Digital 2021-2024 yang disusun Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dapat tercapai optimal.
Sehingga harus ada percepatan infrastruktur yang memperluas akses masyarakat terhadap internet, mendorong adopsi teknologi, talenta digital, serta menyelesaikan regulasi pendukung untuk menyiapkan masyarakat digital. Persoalan saat ini belum semua wilayah di Indonesia tersedia infrastruktur digital yang memadai, terutama di daerah terpencil atau 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) layaknya di Desa Sungai Jernih yang koneksi 4G/LTE-nya belum merata.
Hal ini pula dirasakan komunitas adat terpencil SAD yang berada di desa tersebut. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), total se-Indonesia masih ada 12.548 desa dan kelurahan masuk area blankspot alias belum mendapat layanan internet di 2022. “Di Sumsel, populasi kami sekitar 4 ribu KK menyebar ke kelompok-kelompok komunitas SAD. Ada seribu KK di Kabupaten Muratara mendiami Desa Sungai Jernih, Sungai Kijang, Muara Tiku, Gawang, Bina Marga, Pangkalan Liam,” bebernya.
Di Musi Rawas, suku kubu ada di BTS Ulu Cecar, Merasi, Semangus. Sementara di Muba di Sungai Lalan, Sungai Bahar, Pagar Desa, Sungai Kubu. “Banyak pula di Provinsi Jambi di Sungai Reba, Muara Tembesi, Kubu Bukit 12, Bangko, Segayo, Kutur, Rimbo Bujang,” terangnya.
Japarin mengaku beberapa kelompok SAD, termasuk kelompoknya, sudah berbaur ke masyarakat desa sehingga lebih maju secara ekonomi mengikuti modernisasi. Sudah punya ponsel, elektronik, motor, bahkan mobil. Mereka mengadaptasi teknologi layaknya menggunakan smartphone untuk belanja online. “Bahkan SAD di Desa Sungai Kijang dan Muara Tiku sudah mengakses HP semua. Sekolahnya sampai pendidikan tinggi, ada yang sarjana hukum,” tegasnya. Tapi di Sungai Jernih rata-rata tamatan SD, SMP ada, tapi SMA kurang karena alasan biaya.
Meski begitu, lanjut Japarin, SAD tetap menjaga tradisi nenek moyang seperti pengobatan besale (ramu-ramuan), rejung (nyanyian), pencak silat, sementara melangun (pergi jauh menghilangkan kesedihan) berkurang. “Masih ada SAD yang tinggal dalam hutan karena tak punya tempat tinggal dan pencaharian di desa, atau boleh jadi menjaga tradisi leluhur,” ungkapnya.
Untuk itu Anggota Lembaga Adat ini meyakini supaya SAD semakin maju perlu mendapat dukungan Pemerintah dan ketersediaan infrastruktur pendidikan, kesehatan, rumah ibadah, IT, dan sebagainya. Upaya transformasi digital berperan mendigitalisasi masyarakat, mengangkat derajat, dan mensejahterakannya. “(Teknologi) memang perlu itu. Sekolah komputer seperti itu untuk anak-anak kami belajar. Kalau tidak ada yang ngajari, kita juga kurang paham walau kita sudah di daerah maju,” imbuhnya.
Dari gaya hidup belanja online, mungkin digitalisasi berikutnya dapat dimulai. Dari belanja lalu memasarkan hasil alam atau produk kerajinan, mengakses keuangan digital. Dari akses internet, media sosial, masyarakat promosi daerah atau wisata/budaya. Bisa belajar atau berobat online. Tentu lewat perwujudan digitalisasi secara merata sampai daerah 3T. Suatu saat kelompok SAD pun dapat terangkat, layaknya Suku Sasak atau Suku Baduy.
Desa Wisata dan Jualan Online Desa Kanekes di Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten yang dihuni Suku Baduy itu sudah menjadi Desa Wisata Saba Budaya (Baduy luar). Masyarakat Baduy tak hanya berprofesi petani dan peladang, juga perajin rajutan, anyaman, menenun kain khas Baduy, hingga menjual pakaian, kain batik, madu ke pelancong yang singgah ke desanya. Namun yang buat ratusan UMKM Suku Baduy luar cepat berkembang salah satunya mereka sudah mengakses internet. Mereka memasarkan produk kerajinan/alam via online di marketplace atau social commerce. Hal itu pula yang dilakukan Amir bin Salim, pemilik Rumah UMKM Karya Heuleut Kanekes di Kampung Kadu Ketug, Desa Kanekes. “Sebagian besar saya menjual di medsos (WhatsApp, Instagram, Facebook) dan e-commerce misalnya kain tenun Baduy, sal, selendang, tas rajutan, minuman jahe, aneka souvenir. Dari medsos pula, saya mendapat pesanan dan bisa kirim-kirim barang ke resseler maupun distributor melalui kurir ekspedisi ke berbagai kota Jakarta, Bandung, Surabaya, sampai Sumatera,” ujar Amir. Ia menyebut omset bersihnya mencapai Rp10-15 juta per bulan dan penjualan online membantu sekali ketika kunjungan wisatawan ke desa sedang sepi. “Di Kampung Kadu Ketug ini pelaku UMKM sekitar 40-50 usaha. Selain produksi sendiri, saya memasok kerajinan mereka. Total sebulan bisa ribuan lembar/pieces,” ungkapnya lagi.KAIN KHAS : Rumah UMKM Karya Heuleut Kanekes milik Amir bin Salim memajang produk kerajinan kain khas Baduy. Saat ini masyarakat Baduy luar sudah banyak yang memasarkan produk kerajinan secara online. Foto : Amir For Sumeks -- Tak dipungkiri, Saba Budaya Baduy terangkat sebagai destinasi wisata setelah masuknya digitalisasi. Ketua Klaster Mitra Binaan KS Area Baduy, H Medi mengemukakan kerajinan Baduy tak hanya digunakan masyarakat lokal, wisatawan, atau turis asing. Presiden Joko Widodo juga sempat mengenakan baju adat Baduy saat pidato kenegaraan HUT RI tahun 2021. “Saya senang seluruh nusantara sampai mancanegara mengenal Baduy, bahkan kita pernah diliput TV mancanegara dari Jepang dan negara lain,” lanjutnya. Semua tak lepas setelah Baduy luar menjadi Saba Budaya Baduy dan masifnya bisnis online. Walau begitu mereka tetap mempertahankan alam, budaya, dan adat istiadat. Seperti pepatah Suku Baduy ‘Lojor teu beunang dipotong, pendek teu beunang disambung’. “Dari dulu segitu, sekarang pun harus segitu. Jika dulu tidak ada bangunan, sekarang juga tidak boleh. Dulu tidak ada listrik, sekarang juga tidak,” sebutnya. Makanya pemukiman urang Kanekes masih mempertahankan rumah adat asli dari kayu, bambu, atap ijuk (rumbia), tidak ada bangunan bertembok atau berkaca. Mengangkat Potensi SAD Kepala Desa Sungai Jernih, Yutami mengatakan Pemerintah Desa punya keinginan mengangkat potensi Desa Sungai Jernih agar semakin maju. “Di desa kita ini ada Suku Anak Dalam (SAD) tapi sayang kurang terekspos. Saya lihat Suku Sasak di Lombok atau Suku Baduy di Banten itu sama seperti SAD. Cuma mereka mendunia (populer), sehingga banyak kucuran CSR masuk bahkan dari Bank Dunia,” ujarnya. Padahal SAD tak kalah, punya ciri khas budaya dan tradisi. Seharusnya terangkat, kampungnya bisa jadi wisata budaya atau kearifan lokal. “Sebenarnya desa kita ini sangat bagus. Kita juga punya Danau Rayo, kurangnya cuma belum ada promosi jadi orang luar tak mengetahui,” lanjut Yutami. Melalui digitalisasi, pihaknya ingin mengenalkan SAD dan Danau Rayo ke khalayak luar dan mancanegara. “Kita perlu mengangkat SAD. Kita bina, kita tampilkan kehidupannya. Mereka masih memegang teguh adat istiadat, pengobatan tradisional, pencak silat, kesenian rejung. Kita bisa mengeksplor akar-akaran yang mereka pakai sebagai obat-obatan agar pelancong tertarik datang,” terangnya. Dengan promosi digital yang masif, ia meyakini SAD bisa terkenal seperti Suku Sasak atau Baduy, kampungnya dapat menjadi destinasi wisata. “Kita ‘jual’ wisatanya lewat online. Makanya kami berencana bikin website desa. Ini sangat krusial, tapi kami minta bantuan Provinsi atau dinas terkait dalam pembuatan dan pengelolaan website karena butuh operator (talenta digital) khusus supaya promosi optimal,” bebernya. Kalau menciptakan sendiri, lanjut Yutami, anggaran desa sangat minim. “Kedua, jangan sampai setelah ada website tidak bermanfaat (tidak berjalan). Operatornya harus canggih, menguasai IT agar selalu update. SDM kita dilatih khusus. Pemdes dan Bumdes bisa mengelolanya bersama,” ujarnya. Jika sudah tenar, jangankan wisatawan, CSR perusahaan pun datang sendiri. Saat ini, kata dia, komunitas SAD menempati Dusun 8 di Desa Sungai Jernih. Ada 76 KK dengan 267 jiwa. “SAD juga mendiami Desa Sungai Kijang dan Muara Tiku. Di sana memang anak-anaknya banyak yang sarjana hingga lulusan UGM,” tutur Yutami. Dia tak menampik, Suku Kubu kini lebih sejahtera setelah berbaur ke masyarakat walau masih ada yang nomaden di dalam hutan. “Di desa kita banyak yang sudah belanja online, biasanya lewat TikTok Shop (sebelum ditutup, red) atau Lazada yang bayar langsung alias COD (cash on delivery). Kurir sering keluar masuk, SAD mungkin mereka belajar juga,” sebutnya. Tinggal lagi persoalan penting, sinyal internet masih lemot. “Sudah ada tower BTS (base transceiver station) 4G di desa kita, tapi mini (kecil), kapasitasnya sedikit. Ibaratnya mobil pikup muatan tronton, kapasitas 50 perangkat, pemakaian 500. Ya lemot, wajar koneksi internet tak merata, jangkauannya pendek. BTS-nya perlu upgrade,” tuturnya. Kendati, ia mengaku sudah ada rencana Kominfo Muratara bekerjasama dengan operator meng-upgrade BTS beberapa desa. Ada list-nya, salah satunya di Desa Sungai Jernih dan tetangga Lubuk Rumbai. “Kami berharap terwujud tahun ini,” pintanya. Sebab infrastruktur digital begitu penting, seluruh warga termasuk SAD sudah “online” semua. Dari urusan komunikasi, menyimpan mengirim data, promosi daerah, akses hiburan atau media, sampai urusan pendidikan, kesehatan, usaha, keagamaan, hubungan masyarakat. Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Kominfo sebenarnya telah menyediakan akses internet 4G (wifi) melalui program BAKTI Aksi (layanan akses internet) gratis. “Layanan internet itu ada di kantor desa dan sekolah-sekolah, tapi masyarakat sekitar bisa menggunakannya. Wifi-nya kita buka,” paparnya. Kepala Dinas Kominfo Muratara, Zulnova Aryanto mengakui beberapa titik masih blankspot sinyal internet terutama daerah 3T, karenanya tahun ini ada rencana upgrade sejumlah BTS termasuk di Sungai Jernih. “Akan ada peningkatan kapasitas BTS, cuma untuk ini atau bangun baru kami kerjasama dengan provider. Kalau pun mendesak paling kami bangunkan tower mini atau penguat sinyal di wilayah blankspot,” cetusnya. Ada juga program BAKTI Aksi dari Kementerian Kominfo yang internetnya menjangkau daerah tak tersentuh sinyal BTS atau jaringan fiber optik. “Telah berjalan di Muratara, menggunakan VSAT (very small aperture terminal) yang menangkap sinyal satelit melalui gelombang radio,” lanjut Zul. Hanya saja sementara ini ruang lingkupnya tidak luas dan berada di layanan publik seperti di Pemerintah Desa dan sekolah. Tahun ini belum ada pengusulan perluasan jaringan lagi, tapi Zul berharap program BAKTI terus berjalan sampai daerah terpencil atau kawasan blankspot. “Akses telekomunikasi sangat penting, apalagi sekarang digitalisasi sudah masuk desa-desa,” katanya. Untuk kebutuhan anak sekolah belajar, layanan kesehatan, pemerintahan, UMKM jualan online, dan sebagainya. Tak hanya perkotaan, masyarakat desa pun butuh sinyal 4G/LTE, sudah jadi kebutuhan primer. “Digitalisasi memajukan daerah meningkatkan perekonomian. Sehingga transformasi digital harus didukung semua pihak melalui penyediaan infrastruktur merata,” tuturnya. Selain koneksi, harus pula tersedia perangkat keras (hardware) dan piranti lunak (software) di masyarakat. “Website desa memang diperlukan untuk proses digitalisasi media. Tapi kembali lagi ke OPD (organisasi perangkat daerah)-nya, karena masing-masing punya sub domain baik kecamatan maupun kelurahan (desa). Mereka bisa membuatnya langsung untuk keperluan promosi,” ujarnya. Desa Sungai Jernih juga bisa, jika mau mempopulerkan SAD via website, dapat bekerjasama juga dengan Pemerintah Kecamatan atau Dinas Kebudayaan yang membantu pengelolaan website. “Jangan fokus ke satu OPD, kita harus sama-sama bergerak. Mana Kominfo bisa lakukan, begitupula kecamatan atau desa. Dengan satu tujuan mewujudkan transformasi digital seluruh lini, daerah kita akan semakin maju dan rakyat sejahtera,” beber Zul. Demikian pula arah Peta Jalan Indonesia Digital 2021-2024, membawa Indonesia menjadi digital country, digital nation 2024. (fad)