"Pergi! Sana! Keluar! Saya tembak kamu!" teriak Brandon pada orang itu. Kurang lebih begitu. Sambil senjata itu ia todongkan ke arah orang itu. Orang itu pun keluar dari Lai Lai: menuju mobil van putih yang diparkir di depan. Kabur. Brandon dengan senjata masih di tangan menelepon polisi. Semua adegan itu terekam di CCTV, kecuali saat Brandon bergerak agak melebar.Nama orang bersenjata itu, Anda sudah tahu: Huu Can Tran. Umur 72 tahun. Sama dengan orang yang melakukan penembakan di Star Dancing Hall Monterey Park setengah jam sebelumnya. Yang menewaskan 11 orang itu. Motif penembakan masal di Star itu kian nyata: cemburu. Ia tidak diundang ke pesta dansa malam itu. Padahal ia dan istri pelanggan Star Studio. Sedangkan mantan istrinya diundang. Saat itu Brandon tidak tahu bahwa Tran baru saja datang dari arena berdarah di Star Dance Studio di Monterey Park. Ia pikir orang itu datang untuk merampok. "Saya tidak kenal orang itu," ujar Brandon. Mungkin Tran biasa dansa di Lai Lai di saat Brandon lagi tidak dapat giliran bertugas. Ayah Brandon, sebenarnya sudah mendoktrin anak-anaknya: kalau ada perampok datang, beri saja uang. Jangan korbankan nyawa. Brandon pun awalnya mengira orang itu akan merampok. Tapi kok tidak langsung beraksi. Kok menebar pandang dulu ke lantai dansa, seperti lagi cari-cari sasaran. Maka Brandon berkesimpulan akan terjadi pembunuhan. Itulah sebabnya ia langsung merebut senjata itu. Kalau tidak, berapa nyawa lagi akan melayang. Di situlah Brandon dianggap pahlawan. Namanya jadi buah bibir. Muda. Ganteng. Berjenggot pendek. Berani. Sampai ada yang menggelarinya James Bond dari Alhambra. Ada juga yang menggelarinya sebagai Good Samaritan. Gelar ini diambil dari kitab Injil, Lukas 10: 25-29. Digambarkan di ayat itu: seorang lelaki tua tergeletak penuh bilur pukulan di seluruh badannya. Tanpa baju. Di pinggir jalan. Sudah dalam kondisi setengah mati. Seorang pastur lewat di jalan itu. Tidak memberi pertolongan. Sang rohaniawan justru menyerongkan jalannya menjauhi orang itu. Demikian juga ketika seorang rohaniwan dari suku lain melewatinya. Melengos. Tidak mau menolong. Lantas lewatlah orang Samaritan. Sang Samaritan berhenti. Ia obati orang itu. Ia beri minum. Ia gendong. Ia bawa ke penginapan. Sang Samaritan berpesan pada pemilik penginapan: . rawatlah lelaki itu. Sampai sembuh. Semua biaya tagihkan pada sang Samaritan. Ayat itu punya asbabunnuzul-nya sendiri. Injil –sebagaimana Alquran– mengajarkan agar kita bersaudara baik dengan tetangga. Lantas seorang pengacara bertanya dengan kritis: siapa yang disebut tetangga itu. Apakah yang tinggal di sebelah rumah saja? Samaritan bukan tetangga rumah lelaki malang itu. Juga tidak kenal. Tapi mau menyelamatkannya. Seperti itulah yang disebut bertetangga. Siapa Samaritan? Sampai Brandon pun digelari A Good Samaritan? Samaritan bukan orang. Dalam bahasa Alquran disebut As Sammariyyun. Banyak tafsir siapa yang dimaksud Sammariyyun. Umumnya sepakat bahwa itu salah satu suku di bagian utara Israel. Yakni mereka yang menyatakan diri masih mengikuti ajaran murni Ibrahim. Jumlahnya tidak banyak. Selalu pindah karena terusir. Tentu sebagai keturunan Taiwan, Brandon tidak akan mengaku keberaniannya malam itu berkat inspirasi dari As Sammariyyun. Brandon punya definisi sendiri soal keberanian: "Keberanian bukan berarti tidak ada ketakutan, tapi kemampuan memanajemen kesulitan dalam ketakutan ketika situasi menakutkan terjadi," katanya. Saya mengulangi kalimat itu sampai tiga kali. Hanya perusuh Disway yang sekali baca langsung mengerti. (*)
Kategori :