*Ketika Digitalisasi Sudah Menjadi Gaya Hidup
PALEMBANG – Tren digitalisasi semua lini kehidupan masyarakat memang terus berkembang. Salah satunya transaksi digital (uang elektronik) yang dilakukan oleh UMKM maupun industri di berbagai sektor, baik melalui e-money, e-wallet, online banking, QR code, atau QRIS. Data Statistik Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) mencatat pada 2015 baru sebesar Rp5,28 triliun, kemudian naik di 2016 menjadi Rp7,06 triliun, 2017 Rp12,37 triliun, 2018 Rp47,2 triliun, dan 2019 Rp145,16 triliun. Di 2020 transaksi digital tembus Rp204,9 triliun, 2021 Rp305,06 triliun, dan 2022 diprediksi mencapai Rp404 triliun atau tumbuh 32,27 persen (yoy) Setali tiga uang, transaksi e-commerce yang dicatat BI juga kian moncer. Tahun 2015 hanya US$ 2 miliar, lalu naik berlipat-lipat pada 2019 menjadi US$ 21 miliar, 2020 US$ 32 miliar, dan 2025 diproyeksi dapat tercapai US$ 83 miliar. Melesatnya transaksi digital maupun e-commerce cukup wajar seiring semakin mumpuninya infrastruktur digital, perangkat digital, dan aplikasi dibarengi migrasi masyarakat ke aktivitas digital. Sumber International Telecommunication Union, Newzoo, pengguna smartphone global telah mencapai 49 persen dan pengguna internet global 62 persen dari total penduduk. Di Indonesia, BPS mencatat persentase pengguna telepon genggam sudah 65,87 persen dari total penduduk, sementara pengguna aktif internet 2022 diperkirakan 210,6 juta orang. Mayoritas pengguna internet di Indonesia memanfaatkannya untuk komunikasi (27 persen), media sosial (21 persen), hiburan (21 persen), browsing (11 persen), serta aktivitas lainnya seperti jual beli, e-travel, dan ride hailing (10 persen). Tak hanya untuk komunikasi dan gaya hidup, digitalisasi juga meningkatkan aktivitas ekonomi dan layanan publik pada sektor prioritas seperti pendidikan dan kesehatan. Kondisi pandemi Covid-19 ikut mempercepat proses migrasi aktivitas digital. Dari sekian jenis alat pembayaran digital, dompet digital paling populer. Hasil riset InsightAsia menunjukan 74 persen responden aktif menggunakan dompet digital untuk berbagai macam transaksi keuangan. Laporan Boku Inc. dalam “Mobile Wallets Report 2021” mencatat transaksi e-wallet tahun 2020 di Tanah Air tembus US$ 28 miliar dengan volume transaksi 1,7 miliar kali. Sementara penggunanya 63,6 juta. Beberapa e-wallet, seperti OVO, DANA, Shopee Pay, Link Aja, dan lainnya sudah jadi instrumen (aplikasi) pembayaran digital di e-commerce, pembelian di merchant ritel, pembayaran tagihan online, pembelian pulsa atau token listrik saat ini.E-wallet telah mendukung berbagai aktivitas masyarakat dan meningkatkan inklusi keuangan. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdasarkan Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan tahun 2019, tingkat inklusi atau penggunaan produk dan layanan jasa keuangan oleh masyarakat Sumsel telah mencapai 85,08 persen, di atas rata-rata inklusi nasional 76,19 persen. “Pembayaran via dompet digital sudah kami (peritel, red) gunakan sejak 2016. Sejak saat itu, penggunaannya terus meningkat seiring banyaknya promosi yang ditawarkan,” ujar Bendahara Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Sumsel, Arvan Zulhandi, kemarin.Sebenarnya ada juga e-money, tapi jarang digunakan konsumen. “Kalau e-wallet itu menawarkan banyak promo, misalnya ada potongan harga barang, cashback, atau buy one get one,” ungkapnya. Penawaran ini tak akan didapat jika konsumen membayar tunai atau melalui kartu debit/kredit. Artinya secara tidak langsung meningkatkan inklusi keuangan lewat penggunaan e-wallet serta mendukung Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang dicanangkan BI sejak 14 Agustus 2014. “Bagi ritel, e-wallet tak hanya sebagai alternatif pembayaran, juga turut memacu peningkatkan transaksi pembelian oleh konsumen,” imbuh Arvan. Sebab ketika ada promosi e-wallet, beberapa konsumen memperjuangkan “sampai titik darah penghabisan” untuk mendapatkan harga promo tersebut. Padahal jika melihat nilai transaksi e-wallet, sama saja dengan tunai, rata-rata Rp50 ribu-Rp150 ribu per transaksi. Tak heran semua ritel modern sudah menyediakan fasilitas ini. Biasanya masing-masing dompet digital menjalin kerjasama dengan peritel dan menyediakan perangkat mesin EDC (electronic data capture). Kendati begitu, supaya memudahkan pembayaran digital dari berbagai platform, peritel modern maupun tradisional juga menyediakan QRIS Bank Indonesia (BI). Jadi setiap transaksi digital, konsumen tinggal scan barcode QRIS dengan e-wallet yang digunakan. Pasca pandemi Covid-19 saat ini, omset peritel modern Palembang rata-rata sekitar Rp1 miliar per bulan. “Dari transaksi itu, sekitar 25 persen konsumen telah menggunakan e-wallet sebagai alat pembayaran, 25 persen lagi kartu debit/kredit, dan mayoritas separuhnya masih tunai,” bebernya.
Sebenarnya, kata Arvan, dompet digital lebih banyak digunakan di e-commerce atau marketplace, karena pembayaran ke merchant online menjadi lebih praktis. “Misalnya beli barang di Lazada, Tokopedia, Bukalapak, users lebih gampang pakai e-wallet lantaran sudah terintegrasi. Ada juga promo seperti halnya di merchant offline, misalnya harga murah atau gratis ongkos kirim,” bebernya.Kabid UKM Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Sumsel, Mega Nugraha menjelaskan digitalisasi melalui pemanfaatan platform dan transaksi digital memberi banyak keuntungan atau profit bagi UMKM. “UMKM bisa jualan produk melalui kanal (platform) online, seperti marketplace, media sosial, online food delivery tanpa harus buka atau sewa toko offline dengan cost yang minim, menjangkau konsumen lebih luas, serta melipatgandakan omset hingga 2-3 kali lipat,” ujarnya, kemarin. Sementara pembayarannya bisa melalui transaksi digital, baik dompet digital yang mendukung, mobile banking, dan lain sebagainya. Cuma tantangannya, ketersediaan infrastruktur digital belum merata sampai pelosok negeri misalnya coverage jaringan internet belum semua wilayah 4G. “Dari 800 ribu UMKM Sumsel, baru 30 persen yang merambah online, lainnya masih offline. Sehingga kami terus mengupayakan semua UMKM go online karena mereka penopang perekonomian yang mendominasi aktivitas lebih dari 98 persen,” ujarnya. Digitalisasi akan membantu UMKM cepat bertumbuh, sehingga pada akhirnya ikut mengungkit perekonomian daerah. Sekretaris Asosiasi Pengusaha Pempek (Aspek) Palembang, Kartini menjelaskan banyak UMKM pempek yang sudah go online dan memanfaatkan platform dan pembayaran online. “Sekitar 85 persen pengusaha pempek sudah menggunakan kanal online, baik UMKM yang tidak punya warung sama sekali atau jualan dari rumah, hingga yang sudah punya brand atau toko besar,” terangnya. Lalu konsumen yang punya akun platform online food delivery, biasanya juga langsung membayar via dompet digital. Seperti GoPay pada platform GoFood, Shopee Pay untuk Shopee Food, dan OVO untuk Grab Food. Menurutnya, produksi pempek di Palembang dari seluruh UMKM pempek mencapai 14 ton sehari, masing-masing 7 ton dikirim keluar kota dan konsumsi dalam kota. “Untuk luar kota, kami jualan online lewat medsos atau marketplace dan paketnya dikirim via ekspedisi. Untuk dalam kota, selain konsumen makan di tempat, UMKM kami banyak jadi partner online food delivery. Bahkan kadang jualan di aplikasi ini harganya lebih murah bagi konsumen, lumayan memacu omset terutama waktu pandemi,” bebernya. Supervisor CGV PTC Mall, Lanjuas mengatakan pihaknya fasilitasi penonton yang ingin memesan tiket online melalui website cgv.id atau aplikasi seperti TIX ID. “Pembayaran bisa transfer dari berbagai bank, kartu kredit, atau dengan dompet digital DANA,” imbuhnya. Tapi kecenderungan memang, mayoritas mereka yang pesan online untuk film-film box office yang tinggi peminatnya.
“Biasanya kan kita ada tiket pre-sale film box office. Pemesanan online bisa capai 30-40 persen,” ujarnya. Penonton memesan tiket online cepat-cepatan supaya mendapat lokasi tempat duduk strategis sebelum kehabisan. Ada pula menghindari antrian pembelian tiket langsung, mendapatkan promo pre-sale, dan situasi pandemi kurangi kontak fisik. Tapi kalau film biasa yang penontonnya tidak terlalu banyak, masih mayoritas membeli tiket di bioskop.Kepala OJK Regional 7 Sumbagsel, Untung Nugroho mengatakan sebagai regulator pengawasan Industri Jasa Keuangan, OJK turut mendukung program BI khususnya dalam menyediakan SP dengan teknologi pembayaran yang inovatif, efisien, aman dan mudah digunakan masyarakat, salah satunya melalui program cashless society atau GNNT. “Hal tersebut juga tujuan OJK dalam menyediakan dan meningkatkan akses keuangan kepada seluruh lapisan masyarakat,” imbuhnya. Peningkatan akses keuangan tentunya akan berdampak pada peningkatan inklusi keuangan masyarakat. Seiring itu, OJK saat ini juga berupaya dalam peningkatan literasi keuangan masyarakat, dengan memberikan pemahaman akan manfaat produk dan layanan keuangan beserta risikonya, terutama terkait keamanan dalam bertransaksi, salah satunya menggunakan dompet digital. “Dengan literasi keuangan yang baik, diharapkan masyarakat bisa menggunakan produk dan layanan keuangan sesuai tujuan ekonomi dan terhindar dari risiko kerugian,” pungkasnya. (fad)
Kategori :